[2]

1.3K 145 0
                                    

"Kita harus terus berbuat baik, Mir. Nggak akan pernah ada ruginya ketika kita berbuat baik."

"Kebaikan akan mendatangi kita, kalau kita pun berbuat baik."

"Kamu orang baik, Mir, makanya Tuhan ngasih kamu cobaan ini. Kamu kuat, Almira."

Pukul setengah dua malam, Almira termenung. Fisiknya lelah, matanya berat, dan ia ingin tertidur, tapi sepertinya otaknya tak akan membiarkan ia tidur. Lagi.

Perkataan-perkataan yang ingin Almira hilangkan semakin terus muncul di otaknya, membuat ia merasa sakit dengan apa yang ia dengar. Tanpa sadar, Almira memegang kepalanya, lalu memukulnya. Awalnya, gerakan itu ringan. Namun lama kelamaan gerakan tangannya semakin keras, membuatnya merasakan kesakitan, yang anehnya tak akan ia hentikan sebelum apa yang ingin ia hilangkan bisa hilang.

"Benci. Benci. Benci." Isaknya.

Ia benci dengan semua hal yang terjadi di masa lalunya. Namun sayangnya, ia tak bisa menghapus masa lalunya.

***

"Mir, keluar dulu, yuk. Ada tamu alm bapak yang pingin ketemu kamu." Aida membuka pintu kamar Almira dan mendapati Almira sedang termenung di kursi belajarnya.

"Mir," tegur Aida.

"Apa, Bu?" Jawab Almira.

"Kamu lagi apa, Mir?"

Almira menggeleng, "Nggak lagi ngapa-ngapain. Kenapa, Bu?"

"Ada tamu, muridnya Bapak dulu. Ayo keluar, dia mau ketemu kamu." Jelas Aida.

Almira mengernyit, "Ngapain ketemu aku? Nggak ada urusan, kan?"

Aida menghela napas, "Cuman mau silaturahmi aja. Memangnya nggak boleh?"

"Aku males." aku Mira.

"Udah banyak loh, Mir, tamu yang datang ke sini dan nggak kamu temui. Kamu nggak bisa terus nolak, apalagi tamu yang ini datang dari jauh. Ya?" Aida membujuk.

Bukan tanpa alasan Almira menghindari orang-orang yang datang padanya. Ia hanya lelah jika harus menghadapi orang-orang yang 'peduli' dan lagi-lagi menganggapnya penyakitan. Ia tak tahu, seberapa banyak orang yang mengetahui kondisinya sehingga banyak orang yang prihatin padanya. Bukannya ia tak suka, sikap mereka selalu membuat Almira merasa menjadi tambah buruk mengenai dirinya sendiri.

"Ibu tahu ini berat buat kamu, tapi kita harus menghadapi itu. Ibu sama Kak Fajar bakal-"

"Bu, aku sama sekali nggak terpukul dengan kepergian Bapak. Aku masih bisa hidup dengan baik."

"Baik menurut kamu itu dengan ngurung diri di kamar, nggak makan, nggak tidur dan cuman diem aja gitu?"

Selama menikah dengan Bapaknya, Aida selalu bertutur lemah lembut dan baru kali ini Almira mendengar suara ketus yang ibu tirinya keluarkan. Ia ingin mengabaikannya, tapi sudut hatinya mengatakan bahwa ini bukan pertanda yang baik. Aida mulai menunjukan pribadi aslinya, dan Almira yakin, cepat atau lambat wanita tua itu akan menyerah padanya. Apalagi Bapak sudah tidak ada lagi di dunia ini, dan Almira tinggal dengan Aida dan Fajar yang tidak memiliki ikatan darah dengannya.

"Aku nggak mau ngomongin itu sekarang." Seru Almira lalu bangkit dari duduknya.

"Kemana?" Tanya Aida.

"Katanya aku harus nemuin tamu di depan?" Dengus Almira. Meskipun tak ingin, tapi biarkan Almira mengalah hari ini.

Mendengar itu, Aida pun tersenyum lalu melangkah keluar dari kamarnya, "Ibu tunggu, ya."

Dengan asal, Almira menggunakan kerudung instan di dekatnya, dan sedikit memberi bedak di wajahnya agar tak terlalu pucat. Setelah itu, ia keluar kamar dan suara seorang lelaki yang tak ia ketahui bisa ia dengar samar-samar.

Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang