[20]

1K 134 9
                                    


"Nada itu adik kelas saya. Dia dulu suka nimbrung sama saya dan teman-teman karena di angkatan dia cuman dia satu-satunya yang ikut klub jurnalistik. Dulu Nada sempat naksir ke saya, tapi saya pikir itu cuman cinta monyet. Terus beberapa tahun lalu kami sempat ketemu, dari situ dia mulai deketin saya terus-"

"Mas." Sela Almira sebelum Arkan kembali bercerita mengenai masa lalunya.

"Kenapa?" Tanyanya heran.

"Mending Mas nyeritanya sambil nyetir, soalnya kita harus cepet pulang." Saran Almira. Sungguh, tadi setelah acara reuni kecil-kecilan itu selesai, saat ia dan Arkan masuk mobil, lelaki itu langsung bercerita tanpa diminta. Ia tak keberatan untuk mendengar cerita dari suaminya, tapi mereka harus pulang cepat karena hari sudah malam, terlebih tadi Aida sempat menitip makan malam karena wanita itu tidak sempat masak.

"Oh, oke." Balas Arkan lalu mulai menyalakan mobilnya.

"Terus apa?" Tanya Almira setelah mobil Arkan sudah melaju dan lelaki di sampingnya tak kunjung melanjutkan ceritanya.

"Hah, terus apanya?" Arkan bertanya balik.

"Itu.. cerita Mas tadi. Mas tadi bilang, Mas sama Mbak Nada ketemu beberapa tahun yang lalu, terus Mbak Nada mulai ngedeketin, terus apa?"

Arkan berdehem sebelum melanjutkan, "Tahun lalu dia ngajak nikah."

"Terus Mas Arkan jawab apa?"

"Ya, nolaklah. Kalau nggak, saya nggak akan nikah sama kamu." Balas Arkan sedikit kesal.

"Kenapa Mas tolak?"

Arkan mengedikkan bahunya, "Nggak ada rasa aja. saya nolak dia tanpa ngasih penjelasan apa-apa. Saya malah nggak pernah balas pesan dia." Arkan meringis. "Jahat banget ya saya."

"Pantes tadi Mbak Nada kayak yang sebal pas nyerita Mas susah dihubungi." Timpal Almira.

"Ya, habisnya Nada kayak yang neror. Saya agak risih sebetulnya. Kalau tahu tadi Nada bakal datang, saya lebih milih diem di kamar bareng kamu."

Almira memilih diam. Tak tahu harus menanggapi apa. Sejujurnya ia sangat risih tadi. Saat Nada tahu statusnya sebagai istri Arkan, perempuan itu terang-terangan menunjukkan rasa tak sukanya.

"Ra, kamu.. marah?"

Almira menoleh dan menggeleng, "Nggak. Kenapa harus marah?"

"Maaf ya, karena kamu harus ikut ke acara saya. Saya tahu kamu nggak nyaman tadi."

"Nggak apa-apa kok, Mas." Almira tersenyum kecil, menenangkan Arkan yang tampak sangat menyesal.

"Saya nggak akan sekhawatir itu kalau nggak ada si Fajar." Lanjut Arkan dengan nada tak senang.

Almira terkekeh pelan. Senang rasanya melihat ada orang yang khawatir padanya.

"Ra.. saya minta maaf juga ya, atas nama Nada. Saya sadar kok, tadi Nada nunjukin rasa nggak sukanya ke kamu. Padahal kan yang salah saya."

"Dia kan cinta ke Mas, makannya dia lebih milih julid ke aku." Balas Almira sambil terkekeh.

Arkan tersenyum. Tangan lelaki itu lalu menepuk-nepuk kepala istrinya yang dibalut hijab mocca. "Sejak Nada muncul, saya langsung nggak tenang, takut kamu marah."

"Nggaklah, ngapain aku marah." Sangkal Almira.

"Atau siapa tahu, kamu cemburu gitu." Balas Arkan dengan nada menggoda.

Almira menggeleng dan mengibaskan tangannya, "Nggaklah."

Mulutnya memang berkata tidak, tapi sampai tengah malam ini, Almira tak bisa tidur. Ia terus menghela napas kasar di saat Arkan yang berbaring di sebelahnya tampak tidur nyenyak. Ia tak marah. Ia juga tak cemburu pada Nada. Ia hanya merasa.. rendah diri.

Dan percakapan-percakapan saat di acara tadi kembali terngiang-ngiang di otaknya.

"Jadi sekarang lo kerja jadi jurnalis, Nad?" Tanya Haris.

"Iya. Tapi bukan di perusahaan yang gue mau. Kayaknya ntar gue mau coba ngelamar lagi deh."

"Padahal tempat kerja lo sekarang udah bagus loh."

"Tapi yang gue mau lebih bagus. Ya nanti coba-coba lagi aja. Kalau nggak keterima, ya tetep kerja di sini." Nada mengedikkan bahunya.

"Btw, tapi lo hebat ya, Nad. Kita semua anak klub jurnalistik, tapi yang sekarang kerjanya di dunia itu cuman lo doang loh. Gue mah sekarang ngajar. Haris sama Rio malah bisnis." Indah menimpali sambil terkekeh.

"Kak Arkan sekarang kerja di dunia penerbitan. Sesuai sama passion Kakak di nulis kan? Kak Arkan tahu yang lebih hebat sekarang, apalagi Kak Arkan sekarang dosen."

"Eh, lo jadi dosen juga, Ar? Wah, keren lo." Rio bertanya.

"Penghasilan perbulan gede dong, Ar." Sahut Haris bercanda. "Sejahtera nih Almira, suaminya gajinya gede."

Haris, Rio, dan Indah pun tertawa. Arkan sendiri hanya meringis. Sedangkan Almira dan Nada tak menampilkan ekspresi apa-apa.

"Eh, sekarang tuh jamannya perempuan juga harus eksis." Seru Nada. "Jangan mengandalkan suamilah. Sebagai istri juga harus bisa mandiri. Supaya kalau cerai atau suaminya meninggal, si istri itu nggak kerepotan karena dia masih bisa ngehidupin dirinya sendiri."

"Ih ngomongnya kok gitu sih, Nad." Timpal Indah.

"Eh, tapi betul loh apa yang dibilang Nada." Seru Rio. "Bibi gue soalnya gitu. Dia nggak punya kerja, malah nggak sempat punya pengalaman kerja juga karena lulus SMA langsung nikah sama suaminya. Terus suaminya ketahuan selingkuh dan pernah KDRT juga, keluarga minta Bibi gue cerai. Tapi bibi gue nggak mau karena kalau dia cerai, dia nggak bisa ngehidupin anak-anaknya sendiri. Miris sih. Kasarnya mah kayak Bibi gue bertahan karena udah terlanjut bergantung ke suaminya."

"Tuh, kan." Sahut Nada semangat saat Rio setuju dengan pendapatnya. "Makanya, gue sekarang berusaha kerja di tempat yang bagus. Niat ngelanjutin S2 juga. Itu semua bukan sekadar ngejar prestasi, tapi ya memang suatu keharusan."

Selama teman-teman Arkan berdiskusi mengenai topik itu. Almira hanya diam dengan perasaan yang terus bergejolak. Arkan pun sama diamnya, dan hanya menimpali ketika ditanya. Mungkin Arkan hanya berpikir bahwa ia marah karena diajak ikut pergi atau pun cemburu karena kehadiran Nada. Almira tak merasa itu bukan masalah besar. Masalah yang paling besar yang sedang ia hadapi adalah kepercayaan dirinya yang semakin menipis atau bahkan sudah habis. Ia merasa tak berharga dan tak cukup layak untuk siapapun, termasuk Arkan.

Almira berusaha memejamkan matanya. Namun yang muncul dipikirannya adalah kilas balik masa lalunya yang menyedihkan. Kenangan yang ingin ia lupakan. Tapi, semakin keras ia melupakannya, semakin sering kenangan itu muncul. Dan seperti biasa, saat kenangan itu muncul, tubuhnya ikut bereaksi. Ia berkeringat banyak, napasnya tidak teratur, dan juga air mata yang tanpa sadar terjatuh.

Almira pun bangkit dari tidurnya. Menoleh, dan mendapati Arkan yang masih tertidur nyenyak. Ia lalu beranjak dari kasur dan masuk ke kamar mandi setelah memastikan semua penghuni di rumahnya tidur.

Di kamar mandi, Almira terduduk. Ia menepuk-nepuk dadanya dengan keras, berusaha agar perasaan sesak yang hadir bisa hilang. Tanpa sadar, ia mulai menjambak rambutnya sendiri, memukul kepalanya, dan menampar pipinya berkali-kali dengan keras. Air matanya sudah berhenti keluar, namun sesak di dadanya masih melekat.

Tangannya tak bisa berhenti untuk terus berlaku kasar pada dirinya sendiri. Meskipun itu menyakitkan. Tapi hanya ini yang bisa Almira lakukan untuk menenangkan dirinya sendiri. Selama sepuluh tahun ia hidup seperti ini, ia tak pernah tahu bagaimana caranya ia bisa bertahan. Yang Almira tahu hanya satu; ia benci dengan dirinya sendiri yang hidup dengan keadaan seperti ini.

Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang