"Mir, Nak Arkan belum bangun?"
Aida bertanya ketika ia baru saja masuk ke dapur untuk mengambil minum. Mendengar pertanyaan Aida entah kenapa tiba-tiba membuat wajah Almira memanas dan jantungnya berdegup kencang. Mengingat kembali tiga malam ini ia tidur satu ranjang dengan lelaki untuk pertama kalinya. Dan meskipun sudah tiga kali pun, Almira masih belum bisa menyesuaikan.
"Udah Bu, tapi habis sholat shubuh Mas Arkan tidur lagi." Jawabnya.
"Loh, emang nggak kerja?"
"Nanti aku bangunin jam tujuh, Bu. Mas Arkan berangkat jam sembilan hari ini."
"Oh gitu. Buat sarapan sekarang, kalian beli aja, ya. Ibu nggak akan masak. Mau pergi ke Pasar Baru bareng Wa Amih." Ujar Aida yang diangguki Almira.
"Sama tolong bangunin Fajar, Mir. Dia belum sholat kayaknya, hari ini katanya Fajar harus berangkat pagi ke kantor." Aida berujar lagi sambil tangannya sibuk mencatat sesuatu.
Almira menghela napas panjang. Memasuki kamar Fajar adalah salah satu hal yang paling ia benci di rumah ini. Tapi Aida tak pernah paham dan terus memintanya untuk membangunkan lelaki itu. Dengan terpaksa, Almira pun mengetuk pintu Fajar dan membukanya pelan.
Sejak ia menikah empat hari lalu, sikap Fajar benar-benar berubah. Ini menguntungkannya tapi kadang ada situasi dimana ia harus berduaan saja dengan Fajar dan lelaki itu akan menampilkan wujud aslinya. Fajar menjadi lebih sering memakinya dan terus mengucapkan kata-kata buruk padanya. Seolah terus menegaskan Almira, bahwa dengan menikah tidak lantas membuat hidupnya lebih baik. Namun saat di depan keluarganya yang lain, lelaki itu akan kembali bersikap menjadi seorang kakak yang penyayang. Terkadang Almira ingin tertawa, karena sadar bahwa Fajar adalah lelaki paling pengecut yang ia kenal.
"Kak bangun." Ujar Almira. Ia masih berdiri di depan kamar Fajar, tak berani untuk masuk.
"Cubit aja pinggangnya, Mir." Aida berkata sambil melewatinya. Dandanan wanita itu sudah rapih, tampak akan pergi. "Daritadi Ibu bangunin juga nggak bangun-bangun. Nitip ya, Ibu mau berangkat sekarang."
Almira pun mengangguk dan hanya menatap kepergian Aida. Sekalipun ia tak suka dengan Fajar, tapi ia merasa tak bisa mengabaikan amanah Aida. Maka ia pun kembali mencoba membangunkan Fajar. Dan belum sempat ia berujar, ia dikagetkan dengan Fajar yang sudah berdiri membelakanginya. Wajah lelaki itu tampak datar.
"Ibu udah pergi, ya?" Tanya Fajar ketika mendengar suara pagar yang tertutup juga suara Aida yang mengobrol dengan tetangganya.
Melihat Fajar yang sudah bangun, Almira pun beranjak, tak ingin berurusan lebih jauh. Namun, Fajar lebih cekatan. Ia memegang pergelangan tangan Almira.
"Aku udah punya suami, Kak." Ujar Almira menegaskan.
"Terus?" Balas Fajar sambil terkekeh. Tangan Fajar yang satu lagi memegang pundak Almira. Membuat Almira mengerjap, apalagi ketika tangan besar Fajar turun ke arah pinggangnya dan mengelusnya pelan.
"Kak." Almira mencoba mengelak. Tapi Fajar malah memegang pinggangnya.
Ketika Fajar akan menutup pintu kamarnya, belum sempat Almira berteriak, ia sudah melihat Fajar yang tejatuh akibat pukulan di wajahnya. Ia pun menoleh dan melihat Arkan yang berdiri dengan raut marahnya.
"Apaan lo bangsat?!" Teriak Fajar sambil memegangi rahangnya.
"Lo yang ngapain, anjing?!" Balas Arkan tak kalah sengit. Dan sungguh, ini pertama kalinya Almira melihat Arkan berteriak marah dan berujar kasar seperti itu.
"Mas Arkan, udah." Cegah Almira ketika Arkan akan maju menghadang Fajar lagi.
Arkan pun menoleh, menatap wajah Almira yang kentara sekali ketakutan. Ia lalu maju menghadang Fajar yang masih duduk di lantai. "Dengar, ya, Fajar. Kalau lo bersikap brengsek lagi ke istri gue. Lo bakal dapat akibatnya." Setelah itu, Arkan pun menarik Almira untuk masuk ke kamar mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅
General FictionKatanya, Almira itu "sakit" Almira tak punya banyak keinginan, ia tak pernah menuntut apa-apa akan kehidupannya. Hanya satu inginnya saat ini; bisa terlepas dari label "sakit" dan menjalani hidup sebagai manusia kebanyakan. Dan hanya Arkan, satu-sat...