Sejak pertama kali bertemu dengan Linda, ibu Arkan, Almira sudah menduga bahwa kehidupannya sebagai menantu wanita itu tak akan mudah. Dan ternyata dugaannya benar. Saat pertama kali kakinya menginjak rumah sederhana keluarga Arkan, raut wajah Linda sudah tak enak dilihat. Wanita itu memang menyapanya, basa-basi sedikit seperti menanyakan dari jam berapa di Bandung, capek tidak, dan sudah makan belum. Tapi, pertanyaan itu seolah memang hanya basa-basi tanpa ada bentuk perhatiannya. Bahkan, Linda sama sekali tak tersenyum padanya.
Awalnya, Almira mengira ini hanya perasaannya saja. Namun, ternyata Arkan pun menyadari sikap Ibunya sendiri sehingga lelaki itu menegur Linda, membuat Almira merasa tak enak karena Arkan harus menegur ibunya sendiri.
"Jangan terlalu dibawa hati sikap Ibu, ya." Arkan langsung berkata setelah mereka masuk ke kamar lelaki itu.
Almira hanya mengangguk, mengiyakan. Toh, ia sudah menduga hal ini akan terjadi padanya. Jadi ia hanya mencoba menerima resiko saja.
"Sini istirahat. Beresin barang-barangnya nanti aja." Arkan menepuk bagian ranjang di sebelahnya yang kosong. Sejak masuk kamar, lelaki itu sudah langsung berbaring di kasur.
Meski canggung, Almira pun menghampirinya dan duduk di ranjang kosong itu. Badannya sepenuhnya menghadap Arkan yang sedang berbaring. "Mas Arkan." Panggilnya.
Arkan yang sempat memejamkan matanya langsung membuka matanya dan menatap Almira. "Ya?"
"Nanti Senin Mas langsung kerja?"
"Iya."
"Terus kalau Mas kerja aku sendiri di sini?"
Arkan menggeleng, "Nggak, sama Ibu. Sama ada Bu Sri juga, asisten Ibu yang suka nemenin Ibu."
Almira pun mengangguk paham. Otaknya berputar memikirkan apa saja kemungkinan yang bisa terjadi jika suaminya pergi dan ia tinggal bersama Ibu lelaki itu.
"Nggak usah khawatir." Arkan tersenyum kecil sambil tangannya sibuk mengusap kepala istrinya. Sepertinya mengusap kepala Almira sudah menjadi kebiasaannya. Awalnya, Almira memang kaget dan risih saat ia melakukan itu, namun karena ia sering melakukannya membuat Almira perlahan bisa menerima sentuhannya.
"Mas Arkan berangkat sama pulang jam berapa?" Tanya Almira dengan serius. Bahkan tubuh perempuan itu tanpa sadar mendekat pada Arkan yang masih berbaring. Arkan yang menyadari kedekatan mereka, langsung berdehem. Mendadak ia canggung dengan posisi dekat seperti ini. Ingatannya melayang pada kemarin sore, saat dengan beraninya ia mencium istrinya.
"Saya berangkat jam tujuh, pulang jam empat."
"Berarti sembilan jam Mas ada di luar rumah ini ya?" Tanya Almira dengan wajah polosnya. Dan entah kenapa, melihat itu Arkan langsung tertawa kecil.
"Nanti istirahat siang saya usahain pulang, buat makan siang di rumah sama kamu."
"Memang sempat?"
Arkan mengangguk, "Kantor saya deket kok dari rumah. Nanti saya ajak main ke kantor, ya."
"Emang boleh kalau aku main ke sana?"
"Boleh dong, kantor saya santai kok. Yang punya anak pun boleh diajak ke sana."
"Oke." Jawab Almira senang.
"Kamu seneng ngapain? Kamu kalau mau kuliah, kerja, ataupun ikut les atau komunitas di sini boleh loh. Nanti saya bantu." Tangan Arkan yang semula berada di kepala Almira perlahan turun lalu menyentuh pipi dan mengusapnya lembut.
Almira menggeleng. "Aku nggak tahu harus ngapain. Aku juga nggak tahu seneng sama apa."
"Waktu itu kan saya udah bilang, coba cari tahu kamu senengnya apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅
General FictionKatanya, Almira itu "sakit" Almira tak punya banyak keinginan, ia tak pernah menuntut apa-apa akan kehidupannya. Hanya satu inginnya saat ini; bisa terlepas dari label "sakit" dan menjalani hidup sebagai manusia kebanyakan. Dan hanya Arkan, satu-sat...