Di umurnya yang sudah menginjak dua puluh tujuh, Arkan tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Ia hanya pernah beberapa kali tertarik dengan seorang perempuan, tapi tak lantas membuat Arkan mau menjalin hubungan. Tidak ada alasan khusus mengapa ia memutuskan untuk melajang. Arkan hanya merasa ia harus lebih banyak fokus pada dirinya sendiri. Menata hidup, menjalankan hidup dengan baik, dan terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Ia pernah beberapa kali didekati perempuan, tapi tak ada yang seberani Almira. Mereka baru bertemu satu kali dan perempuan itu sudah berani melamarnya. Arkan menghela napas. Ia tak ingin ucapan Almira kemarin mempengaruhinya, tapi sungguh, kenapa sekarang ia tak bisa fokus kerja?
"Assalamualaikum, ya, Bu, ada apa?" Arkan menjawab telpon yang masuk ke ponselnya.
"Waalaikumsalam. Mas, lagi kerja?"
"Iya, Bu."
"Udah ketemu sama Andin?" Tanya Ibunya membuat Arkan tanpa sadar langsung menghela napas.
"Arkan ke sini kan kerja, Bu."
"Hari Minggu kemarin kamu kan nggak kerja."
"Kemarin Arkan ke rumah alm guru Arkan dulu pas SMA." Arkan menjelaskan, ingatannya melayang kembali saat pertama kali ia bertemu dengan Almira.
"Terus gimana dong? Mas harus ketemu sama Andin sebelum pulang ke Bogor." Desak Ibunya.
"Bu, Arkan nggak bisa." Lirih Arkan. "Arkan nggak niatan untuk deketin Andin."
"Ya udah kalau gitu." Ucapan Ibunya memang terdengar seperti mengalah, tapi Arkan tahu, Ibunya tak semudah itu mengalah.
"Ibu bener-bener pingin Arkan deketin Andin?"
"Bukan cuman Andin. Ibu cuman pingin kamu menikah."
"Arkan bakal nikah, Bu. Tapi nggak sekarang-sekarang. Arkan harap, Ibu berhenti buat maksa Arkan lagi."
"Ibu nggak maksa kamu, Ibu cuman-"
"Arkan tahu. Ibu pingin liat Arkan menikah supaya Ibu nggak merasa bersalah, kan?"
Arkan memejamkan matanya sejenak, dan berusaha mengontrol dirinya. Tubuh dan otaknya sedang lelah, pikirannya juga terkuras karena ajakan menikah dari Almira, dan sekarang Ibunya sekarang menguji kesabarannya.
Belum sempat Ibunya membalas perkataannya, Arkan langsung menyela, "Arkan mau keluar hotel dulu, Bu. Arkan tutup, ya?"
Setelah itu, telpon pun Arkan tutup. Berbicara dengan Ibunya, bisa menguras emosinya. Apalagi jika dirinya kembali mengenang kenangan yang tidak mengenakkan yang orang tuanya berikan padanya dulu.
Meskipun sekarang sudah pukul sembilan malam, Arkan pun memilih mencari udara segar. Ia butuh menyegarkan pikirannya.
Ia pun pergi ke pusat kota, dan memilih jalan-jalan malam sambil membeli jajanan ringan untuk menemaninya. Rasanya ia rindu dengan kota ini. Dulu ia menghabiskan masa remajanya di kota ini. Meskipun masa remajanya terbilang bukan hal yang manis dan baik untuk diingat, tapi jika dikenang lagi, ia sangat bersyukur, karena hal itu yang membuatnya lebih dewasa. Ia tersenyum, mengingat alm Pak Faizar, bapak dari Almira yang sudah menolongnya dulu. Meskipun sekarang ia tampak sedikit sebal dengan ajakan menikah Almira yang terdengar main-main, tapi hutang budi yang ia punya benar-benar ingin ia bayar karena Pak Faizar sudah menyelamatkannya dari kehidupan yang mengerikan.
Saat ia berjalan melewati salah satu supermarket, Arkan mengernyit. Ia melihat seorang perempuan yang duduk sambil melamun. Tangannya memeluk dirinya sendiri, seperti kedinginan. Cuaca malam ini memang dingin, dan gadis itu menggunakan pakaian yang sangat tipis. Arkan tak ingin menghampiri gadis itu, tapi kakinya tak bisa menahan diri untuk mendekatinya. Ia menyerah. Ia pun duduk di bangku sebelah Almira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅
General FictionKatanya, Almira itu "sakit" Almira tak punya banyak keinginan, ia tak pernah menuntut apa-apa akan kehidupannya. Hanya satu inginnya saat ini; bisa terlepas dari label "sakit" dan menjalani hidup sebagai manusia kebanyakan. Dan hanya Arkan, satu-sat...