Sejak magrib tadi, Almira masih membereskan barang-barang yang ada di kamarnya. Banyak barang tak penting yang akan ia buang. Ia juga memilah mana barang yang akan ia bawa ke Bogor dan mana barang-barang yang bisa ia simpan di sini. Sebetulnya, Almira ingin mengosongkan barang-barang yang ada di kamarnya. Ia seolah tak ada niatan untuk kembali lagi ke sini. Tapi, Arkan sudah memberi tahunya bahwa meskipun Aida bukanlah keluarga kandunganya, namun, hanya Aida orang tua yang bisa ia hormati sekarang. Karena tak ingin mendebat, Almira pun mengangguk, mematuhi perkataan suaminya.
"Ra, lanjut besok, yuk." Arkan masuk kamar setelah sebelumnya lelaki itu baru pulang dari masjid.
"Kagok, Mas."
"Nggak apa-apa. Kamu dari tadi siang loh, nggak capek gitu?" Arkan duduk di kasur dan memperhatikan istrinya yang melipat tumpukan baju dan di masukan ke dalam lemari.
"Sampai ini beres." Almira menunjuk tumpukan bajunya. Ia sedang memilah baju-baju yang masih dipakai dan yang tidak.
"Kalau udah, keluar yuk." Arkan tersenyum cerah.
Almira mengernyit, "Jalan-jalan malam lagi?"
"Iya. Saya pingin nongkrong di Punclut. Yuk?"
"Nggak enak ah, Mas, dari kemarin jalan-jalan malam mulu." Tolak Almira. Sudah dua hari ini ia dan Arkan kembali tidur di rumah Aida. Hal ini karena Fajar sedang ada dinas di Sukabumi, membuat Arkan bersedia tinggal di rumah Aida. Dan selama dua hari ini, setiap malam lelaki itu terus mengajak Almira keluar. Bahkan kemarin malam mereka pulang hampir jam setengah dua belas malam. Almira baru tahu bahwa ternyata suaminya itu sangat suka angin malam dan jajanan malam. Untung tubuhnya kuat akan angin malam.
"Nggak apa-apa. Ibu juga nggak keberatan, kan?"
Tanpa sadar Almira cemberut. Sebetulnya, ia sangat suka jalan-jalan dengan lelaki itu. Saking senangnya, mereka selalu lupa waktu. Hanyasaja, ia sedang tak mood keluar rumah. Well, sejak ia bertemu dengan teman lamanya, ia jadi lebih berhati-hati sekarang. Takut bertemu dengan siapa pun itu di masa lalunya. Bahkan kemarin ia hampir berpapasan dengan salah satu temannya juga. Untung ia sempat menggunakan masker, sehingga temannya pun tidak mengenalinya.
"Masuk angin tahu, Mas, jalan malam mulu."
Arkan terkekeh, "Nanti saya kerokin."
"Nggak mau, ah." Keukeuh Almira. "Mas jalan-jalan aja sendiri."
"Mana bisa begitu." Protes Arkan langsung. "Masa saya punya istri tapi jalan-jalan sendiri, sih?"
"Ya nggak apa-apa, selama dua puluh delapan tahun ini Mas juga lebih banyak sendiri kan?" Almira tersenyum mengejek. Arkan yang mendengar itu langsung mendengus.
"Udah berani ngejek ya, kamu."
Almira tersenyum tertahan. Entah dimulai sejak kapan, hubungannya dengan Arkan sudah tak sekaku dulu. Hal ini karena Arkan yang lebih dulu mendekatinya dan merubah sikapnya. Lelaki itu tak sungkan untuk mulai menunjukkan dirinya, membuat Almira pun ikut belajar untuk mulai menunjukkan dirinya sendiri. Almira tahu menyeret Arkan ke kehidupannya adalah suatu tindakan yang merugikan lelaki itu, tapi ia tak bisa memungkiri bahwa ia bersyukur karena memilih Arkan. Lelaki itu.. sangat tidak terduga.
"Ra." Panggil Arkan.
"Hm." Almira menoleh dan melihat Arkan yang sedang duduk di atas ranjang dengan mata yang terus menatapnya.
"Sini." Arkan menepuk bagian kasur di sebelahnya.
"Kenapa?" Almira mendekatinya dan ikut duduk di atas kasur.
"Kamu nggak sedih bakal pindah ke Bogor?"
"Kenapa tiba-tiba nanya gitu?" Almira mengernyit.
Arkan mengedikkan bahunya, "Saya cuman heran kenapa kamu nggak keliatan sedih ninggalin rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅
General FictionKatanya, Almira itu "sakit" Almira tak punya banyak keinginan, ia tak pernah menuntut apa-apa akan kehidupannya. Hanya satu inginnya saat ini; bisa terlepas dari label "sakit" dan menjalani hidup sebagai manusia kebanyakan. Dan hanya Arkan, satu-sat...