[11]

966 141 7
                                    


Sudah dua hari ini Almira lebih banyak termenung. Walaupun sebenarnya ia bukan orang yang banyak tingkah, tapi untuk saat ini ia lebih sangat pendiam. Sudah beberapa kali Aida dan beberapa kerabatnya menanyakan perihal persiapan pernikahannya yang seharusnya akan digelar dua belas hari lagi. Ia belum mengatakan pada orang rumahnya bahwa ia tak jadi menikah. Ia belum berani. Tepatnya, ia belum siap untuk menghadapi respon orang-orang mendengar kabar buruk itu. Oleh karena itu, selama dua hari ini Almira lebih banyak merenung dan cenderung menghindari orang-orang. Ia tak tahu harus menjawab apa jika ada yang menanyakan perihal persiapan pernikahannya.

"Mira, boleh tolong hubungi Arkan?" Aida masuk kamarnya, membuat Almira yang sedang mewarnai langsung terkejut.

"Buat apa, Bu?"

"Tanyain keluarga Arkan kira-kira ada berapa? Ibu mau memastikan lagi buat cateringnya." Aida menjawab semangat. Sungguh, sejak Almira mengatakan akan menikah, Aida memang hanya satu-satunya yang terlihat bahagia mendengar kabar itu. Apa sebegitu besarnya keinginan wanita itu agar Almira keluar dari rumah?

"Sama ingetin juga. Buat jas nikahan yang dipake Arkan, harus cocok sama gaun warna putih kamu. Kalian sih nggak mau mesen baju bareng, jadi nggak tahu kan kalian pake baju gimana." Aida duduk di ranjang, memperhatikan Almira yang sedang bersandar di tembok sambil memegang buku mewarnainya.

"Almira.." tegur Aida karena Almira hanya diam daritadi. "Ayo cepet hubungi Arkan. Kalau bisa suruh datang ke sini aja. Nikahan kalian itu bentar lagi, tapi persiapannya  nyantai gini."

Almira menghela napas panjang, "Bu, nggak usah repot-repot."

"Ibu nggak repot. Ibu cuman mempersiapkan apa yang harus disiapkan. Lagian acara nikahan kamu ini nggak beda jauh sama acara syukuran khitanannya anak Bu Tia. Walaupun kayak gitu, nikahan kamu harus diadain dengan layak, kan? Bapak pasti sedih kalau acara nikahan anaknya yang kayak nggak niat gitu."

"Ibu aja yang hubungi Mas Arkan." Biarlah Arkan yang mengatakan kebenarannya. Almira belum siap.

"Nggak enak. Udah dua hari ini juga Arkan nggak ngechat Ibu. Biasanya suka nanyain perihal persiapan. Mungkin Nak Arkan sibuk kali, ya?"

Almira menghela napas lagi. Sungguh, ia tak ingin terus berbohong seperti ini.

"Bu.." panggil Almira. Ia menatap wanita paruh baya itu yang sekarang malah sibuk membereskan pensil warnanya yang berserakan di kasur. Wanita di depannya itu baik. Sejak Bapak mengenalkan Aida delapan tahun yang lalu, Aida selalu bersikap baik padanya, apalagi jika di depan Bapaknya. Namun, meskipun mereka sudah tinggal bersama cukup lama, Almira tak benar-benar yakin dengan wanita itu. Tak ada perasaan khusus yang ia punya. Dan ia pun yakin, Aida mempunyai perasaan yang sama. Aida hanya menganggap Almira sebagai anak suaminya yang membutuhkan afeksi dari seorang ibu dan butuh dikasihani karena hanyalah anak yang 'sakit'. Almira bahkan tak pernah lupa, saat Aida dengan frustrasinya bercerita pada tetangganya bahwa ia sangat keberatan mengurus Almira.

"Ibu bener-bener pingin aku nikah sama Mas Arkan?"

Aida tersenyum dan mengangguk, "Keinginan Bapak itu bisa melihat kamu nikah, Mir. Tapi sayang, bapa nggak punya waktu untuk itu."

"Apa yang bakal Ibu lakuin setelah aku nikah nanti?"

"Kayaknya Ibu bakal gabung ke usaha kateringnya Wa Amih. Nggak mungkin kan hidup Ibu nanti terus ditanggung Fajar. Fajar nanti juga bakal menikah dan berkeluarga. Pokoknya kamu kalau nanti udah nikah jangan lupa berkunjung ke Bandung."

"Ibu percaya ke Mas Arkan?"

"Insyaallah. Ibu tahu Mas Arkan itu kayak gimana. Dia anak baik. Insyaallah, dia bisa jagain kamu dan bisa bikin kamu bahagia."

Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang