"Perasaan Mas baru mulai ngajar di semester baru, tapi kok udah ngasih ujian lagi sih?" Almira tak tahan untuk tak berkomentar ketika Arkan memintanya untuk membantu memeriksa hasil kuis mahasiswanya.
"Ya nggak apa-apa. Saya cuman pingin tahu sejauh mana kemampuan mereka. Lagi pula ini buat mahasiswa semester enam, dan yang saya tanyain itu materi pas mereka semester awal." Jelas Arkan sambil mata dan tangannya sibuk membereskan kertas-kertas di atas ranjang mereka.
"Mas tipe dosen yang nyebelin ya?" Tanya Almira. Ia duduk bersila di atas ranjang di samping Arkan. Sejak tadi ia belum mulai mengecek jawaban, padahal Arkan sudah memberinya kunci jawaban. Saat ini Almira lebih tertarik memperhatikan Arkan yang sibuk membereskan kertas-kertas.
"Nggak tahu, sih." Arkan terkekeh. "Saya baru ngajar itu satu semester kemarin. Saya nggak tahu saya tipe dosen yang kayak gimana. Lagian saya dosen baru dan dosen muda juga di kampus, pasti banyak kurangnya, kan?"
"Biasanya kalau guru muda itu suka nyebelin, kritis, dan banyak maunya. Beda sama guru yang senior."
Arkan terkekeh dan menghentikan gerakan tangannya yang membereskan kertas. Ia menoleh dan menatap Almira yang saat ini juga sedang menatapnya. Almira tampak menggemaskan. Rambut pendeknya terurai, kaos putih kebesaran miliknya yang diambil alih oleh Almira tampak menenggelamkan seluruh badannya, juga celana training yang kepanjangan. Selama dua puluh tujuh tahun Arkan hidup, ia bukan orang yang senang pulang ke rumah. Keadaan rumahnya dulu sangat berantakan, membuat ia enggan bertemu dengan orang rumah. Tapi sekarang, saat ia sudah memiliki Almira, rasanya jam pulang menjadi hal yang selalu ia tunggu. Apalagi sudah beberapa minggu ini, Almira tampak lebih membuka diri padanya. Gadis itu sudah tak ragu jika ingin tersenyum atau tertawa. Bahkan Almira sudah tidak sungkan untuk menjahilinya atau mengomentarinya. Kini, Almira bukan lagi Almira yang ia temui saat sebelum menikah.
"Kata siapa?" Tanya Arkan dengan senyum mengejek.
"Dulu waktu aku SMA gitu. Kalau guru yang senior itu lebih kalem, dan nggak hobi ngasih tugas."
"Ah, nggak juga. Banyak kok dosen senior yang hobi ngasih tugas." Sangkal Arkan.
"Mas emang passion di ngajar?" Tanya Almira memperpanjang obrolan.
Arkan tersenyum kecil, merasa senang jika Almira sudah mulai bertanya-tanya mengenai hal kecil tentang dirinya. Akhir-akhir ini Almira memang cukup sering bertanya tentangnya, bahkan hal sepele pun pernah istrinya tanyakan.
"Sebetulnya nggak. Tapi karena Ibu dulu sempet jadi dosen, saya tiba-tiba kepikiran pingin berkarir di dunia pendidikan juga. Terus supaya ilmu yang saya punya itu jadi amal karena saya bagi ke orang lain. Lagian dengan ngajar itu buat saya belajar lagi."
Almira pun mengangguk menanggapinya. "Terus kenapa Mas milih bidang sastra buat karir Mas?"
"Suka aja." Balas Arkan singkat sambil tersenyum. "Kamu juga pasti punya bidang yang kamu sukai kan?"
"Aku kan pernah bilang nggak suka apa-apa kecuali-"
"Kecuali mewarnai sama saya, kan?" Senyum jahil Arkan pun terbit.
Arkan kira, Almira akan menyangkalnya, tapi ternyata gadis itu mengangguk, menyetujui perkataannya.
"Tapi kayaknya aku suka bidang seni deh, Mas." Ujar Almira setelah mereka sempat hening beberapa saat. Sejak perbincangannya tadi, Almira memang sempat berpikir mengenai kira-kira apa yang ia sukai.
"Oh ya? Kenapa?"
"Suka aja." Balas Almira singkat sambil terkekeh. "Sebetulnya dulu aku jago gambar loh, Mas. Aku juga langganan juara lomba melukis atau menggambar dulu di sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅
General FictionKatanya, Almira itu "sakit" Almira tak punya banyak keinginan, ia tak pernah menuntut apa-apa akan kehidupannya. Hanya satu inginnya saat ini; bisa terlepas dari label "sakit" dan menjalani hidup sebagai manusia kebanyakan. Dan hanya Arkan, satu-sat...