[17]

932 139 2
                                    

"Mas, kayaknya aku harus nelpon Ibu, deh." Ujar Almira setelah sadar mereka sudah pergi dari rumah sejak tadi pagi. Ponselnya sejak tadi pagi mati dan ia yakin Aida heran karena ia dan Arkan tak ada di rumah.

"Saya udah telpon Ibu kok tadi." Jawab Arkan sambil matanya masih sibuk menatap ke depan jalan. Saat ini mereka baru saja pulang makan, dan Arkan mengajak Almira untuk jalan-jalan malam menjelajah daerah kota Bandung sebelum kembali ke hotel.

"Mas bilang apa?"

"Saya bilang kalau kita mau honeymoon di hotel."

Almira mengernyit, "Alasannya kok gitu, sih?" Sahut Almira tak terima.

"Ya, terus kamu mau apa? Mau saya bilang karena Fajar udah bersikap seenaknya ke kamu?"

"Jangan, Mas."

Arkan mendengus pelan, "Hal kayak gini itu nggak boleh dibenarkan, Ra. Fajar berhak dapat balasan atas perbuatannya."

"Kalau pun memang aku mau ngelapor perbuatan Kak Fajar, aku nggak mau sampai Ibu tahu. Lagian, Ibu cuman punya Kak Fajar, aku nggak mau Ibu stres kalau tahu Kak Fajar kayak gitu." Jelas Almira. Meskipun ia dan Aida tak memiliki hubungan hangat dan saling menyayangi satu sama lain. Tapi wanita itu sudah ada bersamanya sejak ia remaja, sekalipun wanita itu keberatan dengan kehadirannya. Almira tetap tak ingin Aida stres.

"Ya udah." Pasrah Arkan. "Ini terakhir kalinya saya liat Fajar bersikap kayak gitu. Kalau dia berani ngelakuin hal bejat lagi, saya bakal lapor polisi."

"Tapi-"

"Saya kayak gini itu karena khawatir, Ra." Arkan menoleh dan menatapnya sekilas.

Lagi. Perasaan hangat itu pun kembali hadir di hatinya. Maka, Almira mengangguk, mencoba mempercayai lelaki di sebelahnya.

"Mau jajan?" Tanya Arkan setelah mereka hening beberapa saat. Mobil Arkan berhenti di samping taman kota yang ramai meskipun jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.

"Kan udah makan tadi."

"Saya nggak ngajak makan. Cuman ngajak jajan. Kayaknya enak, deh." Arkan menolehkan kepalanya dan melihat sepanjang jalan di sekitar taman yang penuh dengan penjual.

"Ada roti bakar, Ra. Beli, yuk." Belum sempat Almira menyetujui, lelaki itu sudah membawa dompet dan keluar dari mobil. Mau tak mau, Almira pun mengikutinya.

"Mau rasa apa?" Tanya Arkan ketika mereka sudah di depan gerobak roti bakar.

Almira menggeleng, "Aku kenyang."

"Suka keju?" Tanya Arkan mengabaikan perkataan Almira sebelumnya.

Dengan malas, Almira mengangguk.

"Oke, Kang yang keju satu sama coklat kacang satu, ya." Sahut Arkan pada sang penjual.

"Mau jajan apalagi?" Tanya Arkan sambil mengedarkan pandangannya.

"Mas!" Desis Almira. "Rotinya aja belum jadi, masa mau jajan lagi sih."

Arkan terkekeh, "Kan kita lagi proses menggemukkan badan."

"Mas Arkan aja yang makan sendiri." Balas Almira sedikit kesal. Ia lalu duduk di salah satu bangku dekat gerobak roti bakar itu, Arkan pun mengikutinya.

"Almira, ya?" Sahut seseorang yang tiba-tiba mendatanginya. "Almira, kan?" Tanya perempuan itu lagi.

Dengan ragu, Almira pun mengangguk. Belum sempat ia bertanya, perempuan itu berkata lagi, "Masih inget aku, kan? Aku Putri, temen SMP kamu."

Almira mengernyit sejenak sebelum ingatannya berputar ke beberapa tahun lalu saat ia SMP. Sekilas wajah perempuan berambut pendek di depannya ini memang tidak asing.

"Ah ya, Putri. Apa kabar, Putri?" Almira tersenyum kaku. Meskipun dulu mereka tak dekat, tapi ia tetap harus bersikap ramah kan?

Putri balas tersenyum, "Baik. Kamu gimana?" Mata Putri menoleh ke arah Arkan yang duduk di sebelah Almira. Belum sempat Almira menjawab, Putri langsung menyela, "Kayaknya, kamu baik-baik aja ya. Syukur deh." Ia lalu tersenyum.

Almira pun terdiam dan tersenyum tipis. Keadaannya sekarang pasti membuat perempuan di depannya berpikir ia baik-baik saja, apalagi mengingat Putri teman SMP-nya. Pasti perempuan itu ingat betapa menyedihkannya ia dulu.

"Kamu sama siapa, Mir?" Putri menatap Arkan.

Arkan yang menyadari itu pun langsung mengangkat kedua tangannya di depan dada, "Saya Arkan, suaminya Almira."

Putri melebarkan matanya, "Kamu udah nikah, Mir? Ya Allah.. alhamdulillah. Ikut seneng, ya."

"Terima kasih." Balas Arkan tersenyum.

"Kapan nikahnya, Mir?"

Karena Almira diam, Arkan pun membalasnya, "Masih penganten, Teh. Saya dan Almira baru nikah lima hari."

"Wah, masih baru banget." Putri tersenyum. "Ikut seneng ya, Mir." Lanjut perempuan itu.

Almira balas tersenyum tipis, "Iya, makasih, Putri."

"Aku nggak nyangka kamu bakal nikah." Seru Putri dengan suara yang lebih pelan. "Maksudku, kejadian beberapa tahun lalu pasti bikin sulit, kan?"

Senyum tipis Almira pun luntur. Ini salah satu alasan mengapa ia tak pernah mau hadir di acara reuni, juga mengapa ia sama sekali tak mengundang teman-temannya ke acara nikahannya. Teman-temannya tahu bagaimana menyedihkannya ia dulu, dan ia sama sekali tak mau mengingat masa itu.

"Kami semua khawatir loh, Mir, sama kamu. Apalagi waktu udah lulus kamu pindah dan kami sama sekali nggak ada yang punya kontak kamu."

Almira tetap diam. Tak ingin membalas apapun. Apalagi di sampingnya ada Arkan. Ia tak ingin lelaki di sebelahnya tahu.

"Setahuku Cakra-" belum sempat Putri selesai, Almira langsung berdiri dari duduknya. Tak mau mendengar perkataan lebih lanjut dari Putri.

"Aku harus pulang, Put. Duluan, ya." Almira pun berjalan membuat Arkan menatapnya heran.

"Ra, rotinya belum jadi." Cegah Arkan.

"Aku tunggu di deket mobil aja, Mas." Almira pun melanjutkan jalannya tanpa menatap Putri yang juga terdiam di tempat. Ia tak sanggup lagi. Ia tak ingin mendengar nama itu. Ia tak ingin kembali mengingat masa lalunya di saat ia sudah mulai bisa bangkit. Almira tak mau melihat dirinya sendiri kembali terpuruk.

***

Beberapa menit kemudian, Arkan datang dengan membawa roti bakar di tangannya. Ia mengernyit ketika melihat Almira yang berjongkok di samping mobilnya. Kedua lengannya memeluk badannya sendiri.

"Dingin?" Arkan menghampirinya.

Almira mengangguk pelan.

"Ayo, cepet masuk mobil." Arkan membuka pintu mobil dan menggiring Almira agar cepat masuk.

"Kenapa tadi langsung jalan ke sini nggak nunggu saya dulu?" Tanya Arkan. Ia memang sempat mendengar sekilas percakapan Almira dengan temannya, namun ia tak menyangka istrinya itu tiba-tiba meninggalkannya.

"Nggak kenapa-kenapa." Balas Almira.

"Kenapa Putri nggak kamu undang ke nikahan kita?" Tanya Arkan lagi. Ia belum menjalankan mobilnya, ia masih penasaran akan sikap istrinya yang tiba-tiba berubah.

"Aku nggak terlalu deket sama dia." Almira menjawab tanpa menatapnya. Matanya sibuk menatap jendela mobil dengan pemandangan jalan raya.

"Tapi kamu share undangan syukuran kita ke grup-grup alumni sekolah kan?"

"Aku nggak masuk grup alumni."

"Kenapa?"

"Mas aku pingin cepet pulang." Ujar Almira dan menoleh, menatap Arkan.

Arkan pun menghela napas pendek. "Oke, kita pulang." Arkan lalu membuka jaketnya dan memasangkannya ke tubuh Almira, "Pake. Dingin."

"Mas Arkan." Panggil Almira ketika Arkan baru saja menyalakan mobilnya.

"Hm."

"Aku pingin cepet-cepet pindah ke Bogor."

Arkan menoleh dan menatap Almira yang sedang menatapnya juga dengan raut datar.

"Kenapa?"

"Aku pingin mulai hidup baru."

Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang