[1]

2.4K 197 2
                                    

"Bapak meninggal, ya."

Hanya itu yang bisa Almira ucapkan saat Aida, ibu tirinya, menghampirinya sambil menangis terisak.

"Maafin Bapak, ya, Mir." isak Aida sedangkan Almira hanya bergeming, ia pun menatap ke dalam ruangan tempat bapaknya dirawat selama tiga minggu ini. Entah penyakit apa yang dialami bapaknya sehingga bisa menyebabkan pria tua itu meninggal. Selama dirawat, Almira hanya pernah tiga kali datang menengok, itu pun atas paksaan Aida.

"Almira?" panggil Aida. Wanita itu pun mengambil tangan Almira dan menggenggamnya erat, "Maafin Bapak, ya, Nak?"

Dengan halus, Almira melepaskan genggaman Aida. Ia merasa tak nyaman dengan sentuhan yang wanita di depannya berikan.

"Ibu mau urus jenazah Bapak untuk dipulangkan dulu, Almira tunggu di sini, ya?" Aida berusaha tersenyum tegar dan menghapus air matanya lalu pergi entah kemana.

Almira menatap ke beberapa arah sampai akhirnya matanya menatap badan bapaknya yang sedang terbaring kaku. Wajahnya pucat dan terlihat menyedihkan.

Seharusnya, Almira menangis. Seharusnya ia merasa sedih. Seharusnya ia juga merasakan kehilangan, tapi nyatanya, Almira tak tahu perasaan apa yang hadir di hatinya. Ia tak sedih, tapi tak juga bahagia. Yang ia tahu, hidupnya akan jauh lebih menderita lagi.

***

Beberapa kerabat, tetangga dan juga rekan kerja bapaknya di sekolah ditambah para muridnya silih datang bergantian. Mereka mendoakan bapaknya dan terus mengucapkan kalimat penyemangat pada Almira yang sejak pagi hanya duduk di samping Aida dan Fajar, kakak tirinya. Ia tak tahu harus melakukan apa, jadi setiap ada yang mendatanginya ia hanya berusaha tersenyum menyapa.

"Yang sabar, ya, Mir." ujar Sela, salah satu guru di sekolah tempat bapaknya mengajar. "Temen-temen Bapakmu pasti terus inget kamu, Mir, kalau ada apa-apa bilang ke Ibu atau ke guru lainnya, ya."

Almira hanya mengangguk meski dalam hati ia meragukan apakah wanita di depannya benar-benar bersikap tulus atau tidak. Karena Almira tahu, beberapa orang di sekelilingnya akan bersikap baik padanya dan memperlakukannya seolah ia benda rapuh, namun setelah itu, di belakangnya mereka membicarakannya. Dan itu sangat menyedihkan ketika tahu bahwa mereka tak benar-benar tulus bersikap baik.

"Mira jangan banyak pikiran, ya. Kalau mau kontrol atau apa-apa bisa minta bantuan Ibu juga." Indah, yang duduk di sebelah Sela pun ikut menyahut.

Sekali lagi, Almira mengangguk.

"Mir, kamu udah makan?" tanya Fajar sambil memegang pundaknya yang langsung ditepis Almira tanpa sadar.

"Belum, Kak."

"Ayo, makan dulu, Kakak temenin."

Almira ingin menolak, tapi karena beberapa orang di sekelilingnya memintanya untuk makan juga akhirnya ia pun mengikuti Fajar ke dapur. Lelaki yang umurnya lima tahun di atasnya itu sibuk mengisi piring kosong dengan nasi dan lauk pauk.

"Kamu jangan banyak pikiran ya, Mir. Kalau mau jalan-jalan atau nyari kegiatan bisa ajak Kakak. Atau kalau kamu mau, Kakak bisa minta temen Kakak buat ijinin kamu kerja di rumah produksi dia, itu loh temen Kakak yang punya bisnis kerajinan tas. Kalau kamu mau nanti-"

"Nggak usah. Aku nggak mau kerja." Sela Almira langsung.

Fajar tampak menghela napas, "Ya udah kalau gitu, besok kita jalan-jalan, ya?"

"Ngapain jalan-jalan? Kita itu sekarang lagi suasana berduka, dan kalau kita besok jalan-jalan, apa kata orang?"

"Mir.. bukan itu maksud Kakak." Fajar tampak frustrasi.

Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang