[6]

1K 153 0
                                    

"Saya nggak merasa pernah menerima lamaran kamu."

Arkan berkata datar sambil matanya terus menatap perempuan yang sejak tadi terdiam saat ia mengajaknya untuk berbicara berdua.

Saat Almira dengan lantangnya berkata bahwa Arkan akan menikahinya. Arkan benar-benar dilanda kebingungan. Ia mendadak tak bisa mengatakan yang sejujurnya. Apalagi Aida langsung menghampirinya dan memegang tangannya dengan tatapan penuh harap.

"Betul Nak Arkan mau menikahi Mira?"

"Bu, saya-" belum sempat Arkan menjelaskan, Aida langsung memeluknya. "Terima kasih, Nak, terima kasih banyak. Ibu percaya Nak Arkan bisa menjaga Mira."

Setelah Aida berkata seperti itu, Arkan tak ada kuasa untuk berusaha menjelaskan. Ia terlalu segan untuk menyakiti hati perempuan itu. Ia pun hanya tersenyum dan balas memegang punggung tangan Aida. Arkan lalu diajak oleh keluarga Almira untuk makan siang bersama, ia tak menolak meskipun sudah makan siang sebelumnya. Dan Arkan hampir melupakan keberadaan Andin yang mengikutinya tadi. Ia lalu menjelaskan bahwa Andin adalah temannya, dan Andin pun pamit untuk pulang. Arkan tak terlalu memperhatikan Andin, tapi ia tahu bahwa wanita pasti akan meminta penjelasan darinya nanti.

Dan sekarang, di sinilah ia dan gadis yang satu jam lalu sukses membuatnya kelabakan. Arkan mengajak Almira berbicara, yang langsung disetujui oleh gadis itu. Mereka pun mengobrol di taman komplek dekat rumah Almira.

"Saya merasa dijebak. Ini sudah kamu rencanakan sebelumnya?"

Almira langsung menggeleng, "Nggak. Aku sama sekali nggak punya niatan kayak gitu. Tadi aku impulsif bilang kalau Mas Arkan mau nikahin aku."

"Wow. Tindakan impulsif kamu cukup berbahaya." Komentar Arkan menyindir.

"Tapi Mas Arkan ada niatan buat nerima aku, kan?" Tanya Almira dengan percaya dirinya.

Arkan langsung terkekeh. Merasa tak habis pikir dengan cara pikir perempuan di depannya.

"Saya mengulur waktu bukan berarti saya mau menerima kamu, Almira." Ujar Arkan mencoba sabar. Sungguh, ia tak tahu harus menghadapi Almira seperti apa.

"Apa.. nggak ada kesempatan buat aku?" Almira mendongkak dan menatap Arkan. Tatapannya penuh dengan makna, dan Arkan bisa menangkap keputusasaaan yang perempuan itu rasakan.

"Kita belum saling kenal, Almira. Walaupun kamu pernah mendengar cerita saya dari Pak Faizar tapi itu nggak lantas buat kamu langsung percaya ke saya. Bisa aja saya nggak sebaik yang Bapak kamu bilang."

"Nggak apa-apa. Aku terima itu. Aku juga bukan manusia sempurna."

Arkan memejamkan matanya. Sungguh, ia tak tahu harus berkata apa lagi.

"Satu tahun." Ujar Almira tiba-tiba.

"Hah?" Tanya Arkan tak mengerti.

"Kasih aku waktu satu tahun untuk jadi istri Mas Arkan. Kalau setelah satu tahun Mas Arkan merasa nggak bisa kita jadi suami istri. Mas Arkan boleh ceraikan aku."

"Bagi saya nikah bukan main-main."

"Bagi aku juga." Seru Almira tak terima. "Aku nggak akan sembarang pilih laki-laki jadi suami aku."

"Dan saya adalah pilihan tepat?" Arkan bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri.

Almira mengangguk dengan pasti.

Arkan menghela napasnya, "Almira.." panggilnya dengan nada pelan. "Tujuan kamu menikah apa?"

Sejujurnya, Arkan pernah mempertimbangkan gadis di depannya. Walaupun ia belum sepenuhnya tertarik pada Almira, tapi dulu ia memang sempat sering mendengar cerita mengenai Almira dari Ayah gadis itu. Katanya, Almira yang baik, Almira yang manis, Almira yang ceria, Almira yang cerdas dan cerita-cerita lainnya. Arkan pikir juga tak menuntup kemungkinan jika ia menikahi Almira dan mulai saling mengenal setelah menikah. Secara keseluruhan, Almira pantas untuk ia nikahi. Tapi, melihat cara gadis itu mendekatinya, dan perkataan-perkataannya yang kadang tak masuk akal, Arkan tahu bahwa Almira tak benar-benar berniat untuk menikah. Itu menjadi alasan utama mengapa ia ingin menolak gadis itu.

Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang