"Aku.." Almira terdiam. Sungguh, ia tak tahu harus merespon apa mengenai perkataan Arkan dan juga tingkah lelaki itu yang sekarang sedang menyodorkan cincin di hadapannya.
"Mas Arkan serius?"
Arkan mengangguk, "Ngapain saya bercanda sambil niat beli cincin kayak gini?"
"Mas Arkan lagi ngelamar aku?"
"Iya." Balas lelaki itu santai.
"Mas Arkan nggak lagi main-main sama aku kan?" Mata Almira menyipit, berusaha mencari kebohongan dari lelaki itu.
Arkan yang melihat tingkah Almira pun terkekeh. Almira terlihat menggemaskan sekarang. "Di sini yang suka main-main itu kamu." Arkan menyentil dahi Almira pelan.
Tanpa sadar, Almira memajukan bibirnya. Ia kesal dengan lelaki itu tapi entah kenapa perkataan dan sikap Arkan sore ini sungguh menghangatkan hatinya. Almira merasa diinginkan, terlepas apapun alasan lelaki itu melamarnya. Dan sejujurnya ini pertama kalinya jantung Almira berdetak hanya karena seorang lelaki.
"Jadi mau, kan?" Tanya Arkan lagi. "Nggak usah banyak mikir. Toh, persiapan nikah kita bentar lagi kan?"
"Sekarang kayaknya yang keliatan ngebet nikah Mas Arkan." Celetuk Almira yang membuat Arkan terkekeh.
"Iya, ini semua gara-gara kamu. Saya ke Bandung itu buat kerja, nggak ada sama sekali niat nikah, tapi sekarang beberapa hari lagi malah acara nikahan kita." Arkan tersenyum. Merasa lucu dengan takdir yang dibuat semesta. Dan anehnya Arkan merasa baik-baik saja dengan itu. Menikah memang belum masuk list keinginannya, apalagi menikah dengan Almira, orang yang sama sekali tak ia sangka. Tapi sungguh, sekarang ia bahkan sudah pernah menghayal kehidupan rumah tangganya nanti dengan Almira.
"Aku nggak merasa bilang setuju mau nikah sama Mas Arkan." Seru Almira.
"Kenapa?" Tanya Arkan. Nada suaranya terdengar menggoda, terlihat tak berpengaruh dengan penolakan yang Almira katakan.
"Aku nggak punya alasan lagi untuk nikah sama Mas Arkan." Balas Almira meng-copy perkataan Arkan ketika lelaki di depannya menolak ajakannya untuk menikah.
Menyadari perkataan Almira yang menyindirnya, Arkan pun tersenyum. "Saya ganteng dan baik."
Almira mengernyit. Arkan sedang balas menyindirnya.
"Saya juga bakal dengerin keluh kesah kamu dan bakal terus ada dipihak kamu." Lanjut Arkan. "Itu alasan yang kamu bilang supaya saya bisa tertarik menikah dengan saya. Dan alasan itu juga yang saya katakan supaya kamu tertarik menikah dengan saya."
"Mas Arkan.. bener-bener udah mikir matang?"
"Saya udah mikir ini matang-matang, Almira."
"Aku kan udah bilang kalau aku egois. Aku pun nggak bisa jadi istri yang baik buat Mas Arkan nanti."
"Kamu bilang bisa nerima kurangnya aku kan? Saya pun juga, saya bisa nerima kurangnya kamu."
Beberapa detik tampak hening. Dalam hati Almira terus meyakinkan dirinya bahwa ini bukan halusinasi. Ia pun terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa saat ini Arkan yang memintanya untuk menikah. Bukan dirinya yang meminta Arkan untuk masuk ke kehidupannya, tetapi lelaki itu yang membawa masuk Almira ke kehidupan Arkan. Lalu, setelah dirasa yakin bahwa keputusan ini akan baik-baik saja, Almira pun mengambil cincin yang ada di genggaman Arkan dan memakainya sendiri.
"Cincin ini nggak bisa diambil lagi, ya."
***
Setelah Almira setuju untuk menikah dengan Arkan, lelaki itu hanya tersenyum dan mengusap kepalanya tanpa mengatakan apapun. Setelah itu pun mereka pulang dan kembali berdiskusi mengenai persiapan pernikahan. Aida pun mengajak Arkan dan keluarganya untuk ikut makan malam di rumah setelah Arkan dan keluarganya pulang sholat magrib di masjid.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅
General FictionKatanya, Almira itu "sakit" Almira tak punya banyak keinginan, ia tak pernah menuntut apa-apa akan kehidupannya. Hanya satu inginnya saat ini; bisa terlepas dari label "sakit" dan menjalani hidup sebagai manusia kebanyakan. Dan hanya Arkan, satu-sat...