Sore itu, saat Arkan mendekati Almira dan mencium bibirnya. Semua berubah.
Saat Arkan mencium bibir tipis istrinya, ia tak pernah berniat untuk melanjutkan aksi itu ke arah yang lebih intim. Karena ia sadar, Almira masih butuh proses untuk menerimanya. Maka, ia pun akan mendekati istrinya secara bertahap. Tapi, melihat wajah polos Almira, gerakan canggung perempuan itu saat membalas ciumannya, juga desahannya saat ia mencium lehernya, membuat Arkan hampir tak lupa diri.
Arkan tak bisa menahan dirinya sendiri, sehingga tanpa ragu, ia mengangkat Almira dan merebahkan tubuh itu ke kasur. Dengan tergesa, ia bahkan melepaskan kaosnya dan kembali mengecup seluruh wajah Almira. Namun, saat tangannya baru saja menyentuh kancing atas baju Almira, dorongan kasar tiba-tiba membuatnya hampir terjengkang. Belum lagi, tamparan kasar yang menghampiri pipinya membuat Arkan langsung sadar diri. Sadar bahwa tindakannya sudah terlalu jauh.
Hasratnya yang sedang tinggi tiba-tiba menghilang. Apalagi saat melihat wajah Almira yang tampak ketakutan. Saat tangannya menyentuh lengan Almira pun, perempuan itu segera menepisnya. Arkan kebingungan. Ia tahu, tindakannya sudah terlalu jauh, tapi bukankah mereka suami istri? Dan lagi, jika Almira belum siap, bukankah seharusnya perempuan itu mengatakannya baik-baik? Sebagian diri Arkan tak terima karena ia didorong dan ditampar oleh istrinya sendiri.
"Almira." Panggil Arkan dengan nada tertahan. Ia ingin marah, namun merasa bersalah juga. Wajah ketakutan Almira membuatnya merasa bahwa ada yang salah dari istrinya.
"Almira, kamu.."
Belum sempat Arkan selesai berbicara, Almira menggelengkan kepalanya, seolah tak mau mendengar penjelasannya.
"Almira, kamu kenapa? Saya nyakitin kamu?" Dengan ragu, Arkan mendekat, dan respon Almira langsung menjauh darinya.
Almira lalu berdiri. Pandangan matanya tampak tak fokus, setelah itu ia berlari masuk ke kamar mandi. Meninggalkan Arkan dengan tanda tanya besar. Mengapa.. Almira setakut itu padanya?
***
"Kamu lapar nggak?" Arkan bertanya sambil melirik Almira yang sejak satu jam yang lalu diam.
Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju Bogor. Dan sejak mereka memulai perjalanan, pertanyaan-pertanyaan yang Arkan lontarkan hanya dijawab singkat oleh istrinya. Bahkan, Almira terang-terangan memutuskan kontak mata saat mereka tak sengaja bertatapan.
Sejak kejadian sore kemarin, mereka belum berbicara lagi. Almira langsung menutup akses untuk Arkan mendekati dirinya. Bahkan, malamnya Almira ijin tidur di kamar Aida dengan alasan sebagai hari terakhir tinggal di Bandung. Almira berubah drastis. Dan Arkan tak suka itu.
Tanpa sadar, Arkan menghela napasnya kasar. "Ra." Panggilnya. Ia akan terus berusaha sampai Almira bereaksi.
"Hm." Balas Almira tanpa mau menatapnya.
"Saya lapar. Pingin roti. Tolong suapi."
Permintaannya pun mampu membuat Almira menoleh. Wajahnya seolah mengatakan bahwa ia tak mau. Maka, Arkan pun berkata, "Saya kan lagi nyetir."
Dengan terpaksa, Almira pun membuka bungkus roti yang sempat mereka beli, lalu mulai menyuapi Arkan. Ia terus menghindar tiap kali Arkan menatapnya.
"Untuk yang kemarin sore, saya minta maaf. Maaf karena saya kelepasan." Ujar Arkan membuka pembicaraan.
Butuh waktu satu menit, sebelum akhirnya Almira menjawab. "Aku juga minta maaf karena udah dorong dan nampar Mas Arkan. Aku cuman.. kaget."
Mendengar itu, Arkan sontak terkekeh. Kemarin ia memang kaget dan kesal karena didorong di saat hasratnya sedang tinggi, namun sekarang, ia merasa lucu. Walaupun sebetulnya ia tahu, sikap Almira kemarin terasa janggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅
General FictionKatanya, Almira itu "sakit" Almira tak punya banyak keinginan, ia tak pernah menuntut apa-apa akan kehidupannya. Hanya satu inginnya saat ini; bisa terlepas dari label "sakit" dan menjalani hidup sebagai manusia kebanyakan. Dan hanya Arkan, satu-sat...