"Ra, barang-barang saya udah semua belum, ya?"
Sejak tadi pagi Arkan sibuk memberes-bereskan barang-barangnya. Besok shubuh mereka akan pulang ke Bogor. Pekerjaan Arkan di Bandung sudah selesai semua. Ia bisa kembali ke Bogor, dan melanjutkan pekerjaannya di sana. Selain itu, tahun ajaran baru pun sudah dimulai sehingga Arkan akan memulai kembali pekerjaannya sebagai dosen.
"Kayaknya udah deh, Mas." Balas Almira singkat. Gadis itu sedang berjongkok di dekat jendela kamarnya dan sibuk memperhatikan kaktus kecil di depannya. Kaktus yang dibeli Arkan seminggu yang lalu. Sebetulnya, Arkan iseng saja membeli kaktus yang dijual ibu-ibu tua dipinggir jalan. Ia hanya berniat membantu ibu itu. Namun, tanpa disangka Almira begitu menyukai apa yang dibelinya. Bahkan setiap pagi, Almira akan meluangkan waktu dan memperhatikan kaktus itu. Seolah jika terus diperhatikan kaktus itu akan berubah.
Arkan mengecek kembali barang-barangnya dan mengangguk setelah yakin barang-barangnya sudah semua dibereskan.
"Seneng banget sih merhatiin Tutu." Arkan memutuskan menghampiri istrinya, dan ikut berjongkok menatap kaktus di depannya. Tutu adalah panggilan yang diberikan oleh Almira. Well, terkadang, istrinya memang semenggemaskan itu.
"Tutu kayaknya damai banget." Jawab Almira random. "Kalau kita bisa milih bisa terlahir sebagai apa, aku kayaknya lebih milih lahir jadi kaktus aja."
Mendengar celetukan random istrinya, tak ayal membuat Arkan tertawa pelan. Rambut hitam sebahu, pakaian tidur panjang yang kebesaran, juga wajah Almira yang tampak polos, membuat Arkan tak tahan dengan kegemasan itu. Tangannya lalu memegang pipi Almira dan mencubitnya pelan.
Almira yang mendapat serangan itu pun langsung kaget dan berusaha melepaskan tangan suaminya.
"Kaktus berduri." Komentar Arkan.
Almira mengangguk, "Nggak apa-apa. Biar nggak ada yang berani deketin aku karena mereka bakal terluka kalau deket-deket aku."
"Kalau kamu jadi kaktus, nanti nggak bisa nikah sama saya dong?" Balas Arkan random.
"Mas terima aja ajakan nikah Mbak Nada."
Arkan lalu tertawa keras. Sungguh, ia merasa gemas dengan istrinya sekarang.
"Istri siapa sih ini? Gemes banget."
Mendengar candaan Arkan, Almira mendengus. Ia menumpukan dagunya pada kedua lututnya yang terlipat. Matanya masih fokus memandang kaktus di depannya. Ia memutuskan mengabaikan candangan suaminya.
"Ra." Panggil Arkan karena tak mendapat respon dari istrinya.
"Hm."
"Kamu lagi ada masalah?"
Almira mengernyit. Pertanyaan singkat Arkan cukup membuatnya merasa asing karena selama ini, orang-orang terdekatnya tahu bahwa hidupnya bermasalah, jadi tak ada yang bertanya seperti itu. Hal ini malah semakin menyadarkannya bahwa Arkan hanyalah orang asing di hidupnya. Orang asing yang tak tahu apa-apa mengenai hidupnya, tapi harus terseret hidup bersamanya. Apa Arkan akan kecewa saat nanti mengetahui bahwa hidup Almira itu begitu menyedihkan?
"Nggak ada. Aku nggak kenapa-kenapa." Balas Almira. Hanya itu jawaban yang bisa ia berikan.
"Tapi udah tiga hari ini kamu nyuekin saya." Nada suara Arkan tampak merajuk. "Saya buat salah ke kamu?"
Almira menggeleng. "Bukannya aku emang gini, ya?" Tanyanya heran. Selama mereka menikah, ia memang tak banyak tingkah juga tak banyak omong. Lantas, kenapa Arkan bisa berpikiran bahwa ia bersikap cuek?
"Kamu agak beda." Jawab Arkan dengan yakin. "Kalau ada yang ganggu pikiran kamu, atau saya buat salah ke kamu, bilang ya. Supaya saya nggak nerka-nerka. Saya kalau ada apa-apa juga bakal bilang ke kamu. Komunikasi. Hal ini yang bisa bikin rumah tangga kita makin kokoh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅
General FictionKatanya, Almira itu "sakit" Almira tak punya banyak keinginan, ia tak pernah menuntut apa-apa akan kehidupannya. Hanya satu inginnya saat ini; bisa terlepas dari label "sakit" dan menjalani hidup sebagai manusia kebanyakan. Dan hanya Arkan, satu-sat...