Arkan terdiam. Merasa tak tahu harus berkata apa atas pertanyaan yang gadis di sampingnya lontarkan tadi. Ia bukannya memikirkan apakah ia keberatan atau tidak menikahi gadis yang sudah tidak perawan. Yang ia pikirkan sejak tadi adalah apa yang terjadi di hidup Almira selama ini? Rasanya, gadis itu terlalu banyak misteri. Gadis itu juga selalu sukses membuatnya terkejut. Tak heran jika nanti mereka menikah, Arkan akan selalu dibuat kaget dengan pola pikir dan sikap Almira.
"Kamu cerita ke siapa tentang ini?" Tanya Arkan memecahkan keheningan. Sejak tadi pun Almira tampak diam memperhatikan taman kota yang tampak ramai oleh anak muda dan pedagang kaki lima.
"Cuman Mas Arkan doang." Jawab Almira tanpa menoleh pada lelaki di sebelahnya.
"Kenapa?"
"Ibu sama Bapak pasti bakal kaget dan mungkin nggak akan percaya juga."
"Kamu nggak cerita ke teman kamu?"
"Aku nggak punya temen." Jawab Almira singkat dan tanpa beban. Arkan menatapnya bingung, apa mungkin seseorang tak memiliki teman sama sekali?
"Terus kenapa kamu bilang itu ke saya?"
Almira menoleh dan menatap Arkan datar, "Mas Arkan tadi kan nanya tentang Kak Fajar, karena aku nggak tahu aku sama Mas Arkan harus ngobrol apa, ya udah aku cerita tentang itu aja."
Arkan memejamkan matanya sejenak dan menghela napas. Almira kembali membuatnya tak habis pikir.
"Almira.." panggil Arkan pelan. "Fajar sudah melakukan apa ke kamu?"
Almira mengalihkan tatapannya, kentara tak ingin menatap Arkan. "Nggak melakukan apa-apa. Cuman.." ia berkata pelan, lalu berhenti sejenak. Setelah itu ia memutuskan tak melanjutkan perkataannya membuat Arkan tanpa sadar menghela napas kembali.
"Apa ini juga salah satu alasan kamu ingin keluar dari rumah?"
Tanpa ragu Almira mengangguk.
"Apa Fajar nggak setuju kamu menikah sama saya?"
Almira kembali mengangguk, "Iya, Kak Fajar udah beberapa kali terus bilang nggak setuju aku nikah sama Mas Arkan. Kalau nanti Kak Fajar bilang sesuatu sama Mas Arkan, nggak usah dianggap ya."
Arkan mengangguk, "Kamu tenang aja."
Mereka pun kembali terdiam. Almira kembali sibuk menatap keramaian di luar jendela sana sedangkan Arkan terus menatap Almira dari samping. Gadis itu sangat manis malam ini, meskipun tak pernah Arkan melihat Almira menggunakan make up. Wajah Almira selalu polos dan bibirnya jarang tersenyum. Padahal Arkan yakin jika gadis itu tersenyum akan sangat manis.
"Terkait pertanyaan kamu tadi mengenai apakah saya keberatan atau tidak punya istri yang-"
"Lupain aja." Sela Almira langsung lalu menundukkan kepalanya. Sungguh, pertanyaan tadi tanpa sadar keluar dari mulutnya. Ia tak benar-benar ingin menanyakan itu pada lelaki di sebelahnya. Tadi mendadak pertanyaan itu terlintas di otaknya dan ia belum sempat mengontrol dirinya untuk tidak menanyakan hal itu.
"Kenapa?" Tanya Arkan masih dengan memperhatikan Almira.
"Aku cuman ngomong asal aja. Lagipula.. Kak Fajar nggak pernah melakukan sesuatu ke aku.. sejauh itu. Maksudnya.." perkataan Almira terdengar terbata, ia tak tahu harus menjelaskan seperti apa.
"Kalau kamu belum siap cerita, nggak apa-apa." Balas Arkan.
Almira pun terdiam. Tak membalas perkataan Arkan. Suasana di mobil pun kembali hening.
"Mas Arkan.." Almira mendongkakkan kepalanya pelan dan menatap Arkan ragu.
"Seperti yang waktu itu aku pernah bilang, aku bukan orang jahat. Aku nggak pernah melakukan tindak kriminal dan nggak pernah berurusan sama polisi. Tapi.. mungkin aku nggak sebaik yang Mas Arkan kira. Aku banyak kekurangannya."
Tanpa sadar Arkan tersenyum tipis. "Saya juga bukan manusia tanpa kekurangan."
"Tapi Mas Arkan orang baik. Aku tahu itu."
"Saya hanya mencoba menjadi sebaik yang saya bisa."
"Mas Arkan.."
"Ya?" Arkan kembali menoleh. Entah kenapa, mendengar panggilan dengan nada pelan dan lembut dari Almira, terdengar menenangkan hatinya. Dan Arkan harus mengakui, bahwa meskipun gadis di sebelahnya kadang menyebalkan, tapi ia suka saat Almira memanggilnya seperti itu.
"Apa yang Mas Arkan pikirin mengenai pernikahan antara aku dan Mas Arkan?"
"Saya cuman berpikir saya harus terus mengusahakan yang terbaik untuk kehidupan pernikahan kita nanti. Saya juga terus mikir, gimana caranya saya jadi suami yang baik untuk kamu dan juga ayah yang baik untuk anak kita kelak."
Almira terpaku. Sangat terkejut mendengar penjelasan Arkan walaupun ia tahu kemungkinan besar lelaki itu akan berpikiran seperti itu. Karena Almira tahu betapa baiknya Arkan. Namun, rasanya Almira telah melakukan kejahatan karena dengan seenaknya menyeret Arkan untuk masuk ke kehidupannya yang kelam. Lelaki baik itu sangat tak layak untuknya. Untuk manusia sepertinya.
"Kenapa Mas Arkan bakal mengusahakan itu?"
"Kan saya udah pernah bilang. Terlepas dari latar belakang kita menikah, saya serius dengan pernikahan ini. Saya nggak bisa main-main dengan hal seperti itu."
Beberapa hari lalu, Almira sangat ngotot untuk bisa menikah dengan Arkan. Ia merasa bahwa kedatangan Arkan seolah menjadi pintu untuknya menjalankan hidup yang lebih baik lagi. Ia yakin Arkan bisa menolongnya. Membuatnya bebas dan membuatnya menjadi Almira yang baru. Tapi melihat kesungguhan yang lelaki itu tunjukkan membuat Almira mendadak ragu. Apa boleh ia menyeret lelaki sebaik itu ke dalam kehidupannya?
"Kalau kamu?" Tanya Arkan balik. "Apa yang kamu pikirin mengenai kita?"
Kita, batin Almira.
Selama sembilan tahun terakhir di hidupnya, ia sudah lama tak mendengar kata itu. Ia selalu takut menjalin hubungan dekat dengan orang lain, membuat orang-orang di sekelilingnya perlahan menjauh karena sikap antipatinya. Sejak saat itu, tak ada kata "kita" yang selalu Almira dengar. Ia tak pernah benar-benar dianggap dan diakui oleh orang lain.
"Aku nggak tahu." Balas Almira bohong karena nyatanya sejak ia meminta Arkan untuk menikahinya, yang ia pikirkan hanya dirinya sendiri. Ia berpikir, bagaimana cara agar ia bisa hidup lebih baik lagi? Bagaimana cara ia hidup seperti orang normal lainnya? Dan ia sama sekali tak pernah memikirkan Arkan sekalipun ia harus menyeret Arkan ke hidupnya. Arkan.. lelaki baik itu. Apa pantas lelaki itu diperlakukan seperti ini?
"Aku nggak tahu kehidupan rumah tangga itu kayak gimana. Ibu kandungku meninggal dari aku kecil. Pas aku remaja Bapak baru menikah lagi sama Ibu Aida. Sejak Bapak sama Ibu Aida nikah, aku nggak pernah benar-benar memperhatikan mereka. Jadi aku nggak terlalu punya gambaran mengenai itu."
Arkan tersenyum tipis. "Saya juga. Ibu dan Ayah saya punya hubungan yang nggak baik. Saya nggak punya gambaran juga mengenai seorang suami dan ayah yang baik itu seperti apa. Tapi ini bukan masalah besar, kan? Kita bisa belajar bareng nanti."
Almira menatap Arkan dalam diam dan lelaki itu pun balas menatapnya. Ia lalu tersentak saat menyadari tangan Arkan tiba-tiba ada di atas kepalanya yang terbungkus hijab coklat. Sejenak, ia harus mendadak mengatur degup jantungnya yang tiba-tiba terdetak kencang. Ia takut dengan sentuhan itu, tapi ia tak bisa menolak. Bahkan ia malah merasa hangat dan nyaman ketika tangan besar Arkan menepuk pelan kepalanya. Sama seperti alm Bapak dulu yang suka menepuk-nepuk kepalanya saat ia kecil dulu.
"Kita cuman perlu belajar aja kan nanti?" Ujar Arkan pelan. Bibir lelaki itu tersenyum tipis. Sangat tipis.
Tak bisa, ujar Almira dalam hati. Ini salah. Almira melakukan hal yang fatal. Ia lalu menggeleng dan melepaskan tangan Arkan dari kepalanya. Setelah itu, ia menunduk menatap jari-jari tangannya yang basah, efek dari sentuhan Arkan tadi.
"Mas Arkan.. aku tahu, setelah ini mungkin Mas Arkan bakal benci aku karena aku selalu bersikap seenaknya. Tapi aku baru sadar bahwa aku udah melakukan kesalahan."
Arkan mengernyit. Tak mengerti dengan maksud pembicaraan Almira. Belum sempat ia menanyakan maksudnya apa, perkataan Almira selanjutnya membuat ia melebarkan matanya. Sungguh?
"Aku nggak jadi minta Mas Arkan untuk nikahin aku. Maafin aku Mas, karena udah buat Mas Arkan kerepotan akhir-akhir ini."
***
Halo! Gimana nih? Terkejut ga dengan Almira yang penuh misteri ini wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅
General FictionKatanya, Almira itu "sakit" Almira tak punya banyak keinginan, ia tak pernah menuntut apa-apa akan kehidupannya. Hanya satu inginnya saat ini; bisa terlepas dari label "sakit" dan menjalani hidup sebagai manusia kebanyakan. Dan hanya Arkan, satu-sat...