[16]

983 145 4
                                    

"Almira, bangun." Panggil Arkan sambil menepuk pipi Almira pelan.

Almira pun membuka matanya dan melihat Arkan berdiri sambil memegang ransel dan kantong kresek putih. "Udah pulang?" Tanyanya dengan suara serak.

Arkan mengangguk dan duduk di ranjang. Almira pun bangkit dan ikut duduk. Ia berdehem, rasanya canggung. Tapi sepertinya Arkan tak begitu karena lelaki itu sekarang sibuk mengeluarkan beberapa makanan ringan di atas kasur.

"Banyak banget. Buat apa, Mas?"

"Ya buat dimakan lah." Balas Arkan singkat dan membuka salah satu wafel coklat dan memakannya.

"Udah nyuci tangan belum?" Tanya Almira yang langsung diangguki oleh Arkan.

"Coba deh, enak."

Almira menggeleng. Ia sedang tak ingin memakan apa-apa.

"Kenapa? Kamu udah makan?"

Almira terdiam sejenak. Ia melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 4 sore. Dan ia baru sadar kalau ia sama sekali belum makan selain sarapan tadi. Sejak Arkan pergi bekerja, ia hanya diam di balkon membaca buku Arkan yang sama sekali ia tak mengerti, setelah itu ia pun tidur.

Melihat Almira yang terdiam, Arkan pun berdecak. "Belum makan, kan?" Tebak lelaki itu.

"Lupa." Balas Almira singkat.

"Sejak nikah, saya perhatiin kamu itu susah makan, ya? Setiap makan bareng saya pun kamu kayak yang terpaksa gitu. Pingin sakit kamu?"

"Bukan gitu, Mas." Sanggah Almira. "Aku cuman.. nggak nafsu aja gitu." Sejujurnya, ia malah merasa sejak menikah empat hari lalu, ia jadi lebih sering makan karena harus menemani Arkan makan. Sebelum ada Arkan, ia jarang sekali makan. Aida pun tak pernah mengomelinya yang jarang makan.

"Jangan nyiksa diri sendiri terus." Nasihat Arkan. "Kayaknya kamu bakal makan kalau saya makan, iya, kan?"

Almira tak menjawab. Dan Arkan mengasumsikannya benar. "Ya udah kalau gitu, saya bakal paksa kamu terus nemenin saya makan." Setelah berkata itu, Arkan pun beranjak dari duduknya sambil melepas jaket dan menyimpan barang-barangnya di atas meja.

"Kamu tadi ngapain aja?"

"Nggak ngapa-ngapain. Cuman tidur sama baca buku itu." Almira menunjuk buku di atas meja dekat ranjangnya.

Arkan terkekeh, "Memang ngerti? Itu buku kerjaan saya loh."

Almira menggeleng dan entah kenapa Arkan merasa gemas melihat itu.

"Almira." Panggil Arkan. Lelaki itu sekarang sedang berdiri di dekat ranjang dan menatapnya.

"Kenapa, Mas?"

"Kamu sampai kapan terus pakai hijab di depan saya?"

Tanpa sadar, Almira memegang hijab instannya yang selama seharian ini ia pakai. Tidak, sejak mereka menikah, ia memang tak pernah melepasnya. Bahkan ke kamar mandi pun ia tetap memakainya.

"Aku biasa pakai, Mas. Sebelum menikah pun aku tetap pakai hijab di rumah." Jelas Almira.

"Ya itu karena ada Fajar, kan? Terus sekarang kan nggak ada siapa-siapa. Kecuali saya."

Almira terdiam. Ia tahu maksud Arkan. Mereka sudah halal dan bukan masalah jika Almira melepas hijabnya. Arkan pun berhak melihatnya. Hanyasaja, ia sudah terbiasa memakai hijab di rumah bahkan tidur pun ia tak melepasnya. Apalagi sejak Fajar dengan berani memperlakukan seenaknya. Ia tahu, ia bukan seorang manusia yang taat agama. Namun, Almira hanya merasa ia bisa lebih tenang jika ia menggunakan pakaian yang tertutup. Lalu, apakah ia harus terus mempertahankan sikap pertahanan dirinya dihadapan suaminya sendiri? Maka, dengan ragu, Almira pun melepas hijabnya.

"Cantik." Komentar Arkan pelan.

"Hah?" Almira mendongkak dan menatap Arkan yang juga sedang menatapnya.

"Rambut kamu bagus. Saya suka." Setelah berkata seperti itu, Arkan pun masuk ke kamar mandi. Tanpa sadar, Almira pun menghembuskan napasnya. Sejak menikah, Arkan dan segala tingkah laku lelaki itu selalu sukses membuat Almira tak tenang.

***

Malam ini, Arkan mengajak Almira untuk pergi makan malam di salah satu rumah makan sunda dekat hotel. Lelaki itu memesan banyak makanan, dan terus-terusan meminta Almira untuk memakannya, membuat Almira tanpa sadar berdecak pelan, apalagi saat Arkan terus-terusan menyimpan makanan di piringnya.

"Kenapa?" Tanya Arkan merasa tak bersalah.

"Ini kebanyakan."

"Nggak apa-apa biar kamu gendut." Jawab Arkan seenaknya. "Saya sekarang punya target. Selama sebulan ini minimal kamu naik dua kilo."

Almira mengernyit, "Buat apa Mas?"

"Kenapa? Kamu itu kurus banget, Almira." Arkan menarik pergelangan tangan Almira dan mengoyangkannya, "Liat, tangan kamu kecil gitu."

"Ya udah kalau gitu, berat badan Mas Arkan juga harus naik."

Arkan terkekeh, "Gampang itu mah. Saya orangnya suka makan soalnya."

"Aku juga suka makan sebenernya, tapi rasanya sering males kalau buat makan." Tanpa sadar Almira bercerita sambil mulai memakan makanannya.

"Kenapa?"

"Jadwal makanku sama Ibu suka beda. Ibu jam enam pagi udah makan nasi, kalau aku nggak sepagi itu. Jadwal makanku itu bareng sama Kak Fajar, dan aku males buat makan berdua bareng Kak Fajar."

"Kalau makan bareng sama saya nggak apa-apa, kan?" Arkan bertanya sambil terus memperhatikan Almira yang makan dengan pelan.

Almira menoleh dan menatap Arkan. Dengan pelan, ia mengangguk, "Nggak apa-apa."

"Ya udah, mulai sekarang sampai seterusnya kamu makan bareng saya. Saya juga bisa menyesuaikan sama jadwal makan kamu."

Almira pun memilih diam, tak tahu harus menjawab apa. Membiarkan Arkan dan segala tingkah lakunya -yang semakin ia kenal saat mereka sudah menikah- untuk melakukan apapun yang lelaki itu ingin.

"Ra, coba ambilin sambal itu dong. Saya pingin makan yang pedes malam ini."

Permintaan Arkan membuat Almira menoleh lagi dan menatap lelaki itu bingung.

"Apa?" Tanya lelaki itu heran.

"Nggak ada yang manggil aku 'Ra', kebanyakan panggil aku 'Mir'"

"Ya, nggak apa-apa. Supaya yang manggil gitu saya aja sendiri."

Tanpa sadar Almira tersenyum kecil.

"Mas Arkan suka makanan apa?" Almira membuka obrolan ketika suasana hening beberapa saat dan mereka sibuk dengan makanan masing-masing.

Arkan melebarkan matanya, "Serius kamu nanya ini?"

Almira mengernyit, "Memang nggak boleh?"

"Nggak, maksudnya bukan gitu." Arkan terkekeh. "Sejak kita nikah, selalu saya yang terus nanya mengenai kamu, kamu nggak pernah nanya tentang saya. Saya hampir mikir kalau saya sangat nggak menarik, loh."

"Nggak bukan gitu." Almira mengibaskan tangannya. "Aku cuman nggak tahu harus ngomong apa. Sejak aku dan Mas Arkan nikah.. rasanya agak canggung." Jujurnya.

"Saya juga. Tapi kita nggak bisa terus-terusan merasa canggung, kan? Makanya saya berusaha mendekatkan diri ke kamu."

"Makasih, Mas. Maaf, ya, aku orangnya ngebosenin." Balas Almira pelan.

"Tapi kamu nggak ngebosenin, kok. Cuman memang harus banyak dipancing aja." Sahut Arkan santai. "Saya selalu nunggu, apalagi yang bakal kamu lakuin buat bikin saya terkejut."

"Memang selama ini aku ngapain?" Balas Almira heran.

Senyum Arkan mengembang, "Nggak sadar kalau selama saya kenal kamu, kamu terus-terusan buat saya jantungan?"

Dengan polos, Almira menggeleng. Hal itu pun membuat Arkan sontak tertawa.

Almira yang tak paham semakin mengernyit, "Apaan sih, Mas." tanpa sadar ia berseru kesal.

Arkan menggeleng, "Kamu nggak ngebosenin, kok." Lelaki itu menepuk-nepuk puncak kepala Almira pelan. "Kamu lucu."

Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang