"Maaf, nunggu lama kah?"
Arkan langsung duduk di depan Almira saat melihat Almira duduk di bangku paling ujung cafe tempat mereka janjian. Tadinya, Arkan akan menjemput perempuan itu, tapi karena ada pekerjaan yang mendadak harus ia kerjakan membuat mereka harus janjian di tempat. Ia juga harus telat beberapa menit, membuat Arkan merasa tak enak karena Almira harus menunggu.
"Nggak, kok. Cuman setengah jam." balas Almira kalem. Namun, Arkan tak tahu apakah perempuan itu benar tak keberatan atau perkataannya itu sindirian.
"Sekali lagi maaf, ya." Ujar Arkan tak enak.
Almira mengangguk, "Nggak apa-apa kok, Mas. Saya yang harusnya bilang makasih karena Mas Arkan mau nyempetin datang ke sini."
"Memangnya apa yang pingin kamu omongin?" Arkan tak bisa menahan dirinya untuk bertanya. Sejak kemarin Almira mengajaknya bertemu, Arkan sama sekali tak bisa menebak apa yang akan Almira obrolkan, mengingat tak ada alasan untuk mereka bertemu.
"Bisa kita mesen makan dulu?" Tanya Almira. "Kayaknya Mas Arkan juga haus karena tadi sempet lari."
"Oh, ya boleh. Silahkan."
Mereka pun memesan beberapa cemilan dan minuman. Mereka tak memesan makanan berat karena diantara mereka tidak ada yang lapar. Setelah mereka mulai makan, Arkan melirik Almira, berharap perempuan itu segera mengatakan maksud ajakannya, tapi sampai sepuluh menit kemudian, Almira masih tetap diam sambil mulutnya sibuk memakan cake yang ia pesan.
"Kalau boleh tahu, usia kamu berapa?" Pertanyaan itu refleks keluar dari mulut Arkan.
Almira mendongkak, "Saya dua puluh tiga."
Arkan mengangguk, "Baru beres kuliah atau kerja?"
"Nggak keduanya." Jawab Almira kalem. Arkan ingin menanyakan lebih lanjut, tapi takut topik ini sensitif bagi Almira, maka ia hanya diam, tak melanjutkan obrolannya.
"Mas Arkan sendiri?"
"Tahun ini saya dua puluh tujuh."
"Pekerjaan?"
"Saya punya bisnis penerbitan dan jadi dosen juga."
"Mas Arkan anak keberapa dari berapa saudara?"
Meskipun heran dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendadak muncul dari perempuan di depannya, Arkan tetap menjawab. "Saya anak pertama dari dari dua bersaudara."
"Di Bogor Mas Arkan tinggal sama orang tua?"
"Iya, tapi saya ada rencana untuk pindah nanti."
Almira mengangguk, "Mas Arkan sudah menikah?"
Arkan mengernyit, pertanyaan itu tak pernah ia bayangkan akan keluar dari bibir perempuan itu. Pasalnya, sejak kemarin ia bertemu dengan Almira, perempuan itu tak segan untuk menunjukkan ketidaktertarikannya padanya. Namun, demi kesopanan Arkan tetap menjawab. "Belum."
"Punya pacar?"
Masih dengan mengernyit, Arkan menjawab, "Nggak."
"Lagi dekat sama seseorang kah?"
Nyatanya, pertanyaan Almira masih berlanjut. Dan Arkan sudah tidak bisa menahan diri. Almira telah melampaui batas untuk ukuran orang yang baru saja bertemu dua kali.
"Maksud pertanyaan kamu apa, ya?"
"Saya cuman pingin tahu apa Mas Arkan lagi deket sama seseorang atau nggak." Almira menjawab enteng.
"Tapi apa-"
"Mas Arkan keberatan saya nanya itu?" Potong Arkan.
"Bukan begitu."
"Ya udah, jawab aja Mas." Almira masih tetap tenang. Sama sekali tak terpengaruh oleh tatapan risih Arkan.
"Oke saya jawab, saya lagi nggak deket sama seseorang."
Dan untuk pertama kalinya, Arkan bisa melihat senyum tipis yang terbit di bibir mungil Almira. Perempuan itu lalu mengambil map yang ada di tasnya dan menyerahkannya pada Arkan. Arkan pun menerimanya dengan bingung. Almira tidak sedang meminta sumbangan padanya kan?
"Apa ini?"
"Buka aja, Mas. Boleh dibaca baik-baik, kalau ada yang mau ditanyain boleh langsung tanyain."
Arkan mengernyit, "Kamu mau kerja bareng saya? Ngapain ngasih data diri kamu?" Arkan benar-benar tak paham dengan isi kepala perempuan di depannya.
"Bukan. Saya nggak niat mau kerja bareng Mas Arkan."
"Terus?"
"Saya mau melamarkan diri jadi istri Mas Arkan."
Detik berikut Arkan melebarkan matanya. Ia tercengang. Benar-benar tercengang. "Hah?"
"Itu biodata saya." Tunjuk Almira. "Mas Arkan bisa kenal saya di situ, saya udah nulis lengkap kok."
"Hah?" Arkan masih melongo. "Kamu nggak lagi becanda, kan?"
Almira menggeleng, "Nggak, saya serius, kok."
"Kenapa kamu lamar saya?" Arkan menunjuk dirinya sendiri. Apa masuk akal jika Almira mengajaknya menikah?
"Kenapa nggak? Mas Arkan sepertinya orang baik."
"Tapi.." Arkan berhenti berkata, ia tak tahu harus mengatakan apa.
"Lagi pula.." Almira menatap intens Arkan. "Kemarin Mas Arkan bilang untuk nggak sungkan minta sesuatu kan? Mas Arkan juga bilang ingin balas budi ke Bapak saya. Jadi, saya minta Mas Arkan untuk nikahi saya."
Arkan menatap perempuan yang duduk di depannya dalam diam. Ia tak melepaskan pandangannya walaupun Almira diam-diam sudah mulai menunjukan tatapan risih. Arkan hanya tak percaya akan mendapat ajakan seperti ini dari gadis yang bahkan baru kemarin ia kenal.
"Kamu.." tenggorokan Arkan tercekat, ia tak tahu harus merespon dengan apa.
"Kalau Mas Arkan mau balas budi ke Bapak saya, nikahi saya."
Kalimat itu keluar lagi. Refleks Arkan memegang dahinya, merasa pening karena mendapat serangan mendadak. Almira masih menatapnya menuntut, dan Arkan tahu ia tak akan lolos dengan mudah.
"Kita baru bertemu kemarin, loh." Arkan berkata halus, mencoba meluruskan pikiran Almira. "Kita nggak saling kenal. Dan rasanya terlalu dini kalau kamu melamar saya. Jadi lebih baik kamu pikirkan lagi."
"Sejak kemarin saya sudah pikirin hal ini matang-matang dan saya yakin dengan keputusan saya."
"Kenapa?" Tanya Arkan. "Kenapa harus saya?"
"Memangnya ada apa dengan Mas Arkan?" Almira malah bertanya. "Nggak ada yang salah kan dari Mas Arkan?"
Arkan menghembuskan napasnya berat. "Oke, jelaskan ke saya, kenapa kamu memilih saya untuk jadi suami kamu?"
Almira menyingkirkan piring dan menumpukan kedua lengannya di meja, ia lalu menatap intens Arkan. "Mas Arkan orang yang tepat buat saya."
"Kenapa kamu bisa yakin saya orang yang tepat? Kamu sama sekali nggak kenal saya kan?"
"Setidaknya saya pernah dengar tentang Mas Arkan dari Bapak."
"Tapi itu nggak lantas buat kamu yakin dengan saya kan?"
Almira menggeleng, "Nggak. Saya udah yakin, kok. Lagipula, kalau kita nikah nanti, Mas Arkan bakal bawa saya ke Bogor kan?"
Arkan mengernyit. Kenapa Almira sudah memikirkan sejauh ini? Bahkan ia sama sekali belum menjawab atas ajakan mendadak itu.
"Almira.. ini mendadak untuk saya. Saya harap kamu mengerti."
Almira mengangguk, "Iya, saya ngerti. Mas Arkan boleh kok minta waktu untuk mikirin ini dulu."
"Oke, saya minta waktu untuk mikirkan ini, ya? Beri saya waktu." Jawab Arkan mencoba tenang, setidaknya jawaban ini jawaban yang aman untuk sekarang.
"Mas Arkan bulan depan kan pulang ke Bogornya?"
"Iya."
"Waktu satu hari cukup?" Tanya Almira dengan wajah menuntutnya. "Waktu kita nggak banyak soalnya. Saya pingin sebelum Mas Arkan balik ke Bogor, kita udah nikah, jadi saya ikut pulang ke Bogor nanti."
Rasanya Arkan ingin kabur saat itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rekonsiliasi | Seri Self Healing✅
General FictionKatanya, Almira itu "sakit" Almira tak punya banyak keinginan, ia tak pernah menuntut apa-apa akan kehidupannya. Hanya satu inginnya saat ini; bisa terlepas dari label "sakit" dan menjalani hidup sebagai manusia kebanyakan. Dan hanya Arkan, satu-sat...