[xxi] oh my goddess

701 153 92
                                    

•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cantik.

Jeffrey menyukai rambut panjang Jane yang terurai di punggung tanpa balutan kainnya. Rambut coklat dengan jingga samar yang membuatnya tak tahan untuk tidak menyerahkan diri seutuhnya.

Kepada sang hawa; yang tiada satu hari pun menghilang dari pikirannya.

"Kau itu menakutkan."

Jeffrey seolah dibawa kembali ke dunia nyata setelah mendengar perkataan tidak terduga dari James, temannya yang paling pendiam.

Si pasif itu.

Dia tertawa waktu menyadari perkataan sang lawan bicara. "Aku sudah tahu." Timpalnya.

Jeffrey kembali melanjutkan hal yang sempat terjeda oleh perkataan James. Panah yang sebelumnya menancap di dada Jane masih cukup basah. Noda-noda merah itu masih tersisa disana dan jika Jeffrey mau mengendus aromanya, sudah bisa dipastikan kalau itu adalah aroma familier dari si noda merah.

"Apa maumu?" tanya James lagi, membuat Jeffrey mengernyit.

"Apa mauku? Memangnya aku mau apa?"

James mendengus geli. "Kau hanya memutar-mutarkan perkataanku, More."

Si lawan bicara sontak tertawa. "Memangnya aku tampak merencanakan sesuatu? Hanya karena aku Jeffrey-crazy-Green?"

"Memang seperti itu tampaknya."

Belum Jeffrey buka suara menjawab celetukan jujur kawannya, derap kaki yang tergesa-gesa terdengar dari salah satu ruangan pengap di kediaman John, tempat Jeffrey dan James berdua saja. Derap kaki terdengar semakin cepat dan cepat, sampai akhirnya pintu besar nan megah itu terbuka kasar.

"Manner, please!"

"Shut the fuck up your manner."

Jeffrey berdiri dan terkekeh. Ia menaruh kembali panah yang kini sudah cukup bersih itu di atas nakas dan menatap angkuh kearah wanita yang memekik juga mengumpatinya.

"Kau janji, kau tidak akan membunuhnya." Katanya. "Sekarang kau bukan lagi membunuhnya, kau membuang mayatnya ke jalanan?"

"Aku ingat aku pernah mengatakannya tapi aku tidak pernah berjanji kepadamu." Jeffrey melipat kedua tangannya di depan dada dengan santai. Wanita yang membuka pintu dengan keras itu kini melotot kepadanya. "Kau ingat kode etiknya: Penghianat harus mati."

"...tak ada barang setitik pun maaf di hatimu, ya?" cicitnya.

James sontak tertawa mendengarnya dan memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu daripada terseret ke dalam perbincangan personal milik kedua kenalannya itu. Tapi, sebelum James dimakan oleh pintu yang kembali tertutup, wanita itu masih bisa mendengarnya dengan jelas. "Dasar bodoh. Ini Jeffrey loh!"

PORTRAITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang