Für Elise || Prologue

166 18 11
                                    

Hai!

Sebelum membaca harap diperhatikan ya...

Dear pembaca yang terhormat dan berbahagia

1. Ini adalah karya pertama kami, jadi masih banyak sekali kekurangan dan salahnya. Mohon dimaklumi ya😊🙏

2. Kami sangat mengapresiasi siapa saja yang bisa memberikan saran dan masukannya, silahkan cantumkan saja di kolom komentar.

3. Karena cerita ini adalah mutlak buatan kami, maka jika ada kesamaan dalam pemberian nama tokoh, tempat, dan yang lainnya. Kami hanya ingin menghibur para pembaca tampa menyangkutpautkan pihak manapun.

4. Dalam beberapa bagian mungkin akan dicantumkan bahasa asing, jadi kami telah menyediakan terjemahannya dikolom disamping bacaan tersebut.

5. Jika ada bacaan yang kurang bisa dipahami, pembaca bebas bertanya dikolom komentar. Kami akan dengan senang hati menjelaskan kembali secara mendetail pada para pembaca😊

Terima kasih atas apresiasinya😊🙏

Jangan lupa vote dan comment nya yaaa
≧∇≦

~Enjoy the story~

*****

Aku berlari sekencang-kencangnya melewati jalanan bebatuan licin yang mulai menanjak. Aku bahkan tak tau dengan pasti kemana arah jalan setapak ini akan membawaku pergi. Yang pasti, suara itu memanggilku. Aku bersumpah suara itu terdengar lirih dan hangat ditengah melodi für elise yang entah bersumber dari mana.

Sesekali aku terpeleset diantara bebatuan yang merah menyalah diterpa cahaya matahari. Bebatuan ini seolah dibasahi oleh aliran air tiap harinya, tapi saat kulihat disekitarku, yang kulihat hanya kekosongan.

Hal yang membuatku menganggap diriku konyol dan gila adalah aku terus berjuang untuk maju alih-alih aku tak pernah tau maksud dari pelarianku ini.

Desiran suara air mulai terdengar jelas saat jalan yang kuinjak mulai merata. Disaat inilah batinku mulai bertanya, "sebenarnya dimana ini?"

Aku mencoba menoleh kebelakang, namun yang kulihat hanyalah asap putih tebal yang kini menutupi jalanan setapak yang telah kulewati.

"Serra," panggilan itu kembali muncul, dan melodi itu sama sekali tak berhenti.

Dan entah mengapa mulutku secara refleks mengatakan, "bertahanlah!"

Kakiku mulai bergetar dengan cucuran darah segar yang mengalir dari lutut kananku.

Dengan langkah tertatih, aku mulai berjalan menuju sekumpulan asap tebal didepanku. Hanya beberapa langkah pelan yang kupertahankan disisa energiku kali ini.

Dan kini jalanan ini telah menemukan ujungnya, kulewati sekumpulan asap putih yang sangat tebal tersebut hingga cahaya matahari kembali menyinari wajah lusuhku karena debu yang betebaran dijalanan berbatu merah yang aku pun tak tau dimana keberadaannya.

Kupincingkan mataku, berharap pengelihatanku mulai menajam dikala kepalaku sudah mulai terasa berdenyut hebat.

"aku berhasil menemukannya," gumamku kacau dengan senyuman lirih yang aku sendiri tak memahami artinya.

Sosok itu tengah berdiri di ujung jalan yang menanjak. Tampak didepanya terlihat sebuah jurang yang entah setinggi apa. Aku mengenali punggung itu dan suara dari sosoknya yang terus memanggilku lirih. Dia berdiri dengan gagahnya menghadap matahari yang sudah berada diujung tanduknya, seolah seekor elang yang bersiap terbang mengejar matahari yang akan tenggelam di ufuknya.

"Raymond, lo ga bakal bisa lari lagi," ancamku terengah-engah.

Alih-alih sosok itu menjawab ancamanku seperti biasanya, dia malah membalik badannya dan menatapku dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

"Astaga, Rigel," kejutku saat menyadari sosok yang kulihat bukanlah dia.

Aku yakin saat ini Rigel tengah tersenyum tipis yang entah apa maksudnya. Lantas dia mengatakan sesuatu yang aku sendiri tak tau apa itu, "jaga dirimu Serra, dan terima kasih untuk segalanya"

"benua ini akan menjadi saksi dari segalanya, Serra," tambahnya.

Belum sempat kumencerna kata-kata yang diucapkannya sebelum sebuah suara klik entah dari mana muncul seiring dengan berhentinya gema melodi für elise yang sedari tadi dimainkan.

Kepalaku semakin berdenyut hebat saat aku kembali melangkah tertatih mendekati Rigel yang masih berdiri ditempat. Tapi semua itu tak bertahan lama saat kusadari tubuh gagah yang kini membelakangi matahari itu tampak sangat rapuh hingga tak sanggup untuk menahan bebannya sendiri.

"Rigeeelll," teriakku.

Aku kembali berlari menuju tempat ia berpijak untuk yang terakhir kali sebelum tubuh rapuhnya ditelan oleh sebuah ngarai yang sangat dalam, bahkan aku tak mengacuhkan rasa sakit yang kini kurasakan diseluruh tubuhku. Kutatap ujung jalan itu, sebuah jurang yang menganga dengan deburan air yang sangat deras dibawah sana.

Jurang ini begitu tinggi hingga terlihat asap putih tebal yang menghiasi udara kosong di tengahnya. Atau mungkin itu bukanlah asap putih yang seperti kupikirkan, melainkan awan yang berada di ketinggian.

"Rigeeeelll," teriakan itu kembali kulepaskan hingga aku merasakan tenggorokanku begitu sakit.

Air mata, keringat, dan luka kini berbaur menjadi satu. Inikah akhirnya? Akhir dari kisahku yang telah kehilangan Beethovenku untuk selamanya.

*****
To be continued...

Gimana nih ceritanya?

Jangan lupa vote dan comment nya yaa

Thank you!😊🙏

~Enjoy your day~

O(≧▽≦)O

Für EliseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang