Hai!
Apa kabar para pembaca sekalian?
Semoga senantiasa dalam lindungan Tuhan😇Karena ini adalah karya pertama kami, maka sekali lagi, kami sangat mengapresiasi siapapun yang bisa memberikan pendapat dan masukannya😊
kami sangat meminta maaf atas segala kekurangan dan salah yang telah kami perbuat, baik dalam alur cerita, salah kata, ataupun yang lainnya🙏
Jika ada bacaan yang masih belum bisa dipahami atau kurang jelas, silahkan tanyakan saja di kolom komentar😊
Terima kasih atas apresiasinya😄🙏
Jangan lupa vote dan comment nya yaa😆🙏
~Enjoy the story~
(⌒o⌒)
*****
Jam menunjukkan pukul 5.45 pm waktu setempat. Kami berjalan berdua menyusuri jalanan Oxford yang masih dipenuhi mahasiswa yang berlalu lalang.
"ada tempat yang lo suka buat dinner?" tanyaku memulai pembicaraan.
"ada," balasnya singkat.
Dan dengan riangnya aku mengatakan, "yaudah kita kesana."
Alih-alih menjawabnya, pria tinggi ini justru menatapku dengan tatapan yang sulit kuprediksi, seraya mengatakan, "lo serius?"
"emangnya kenapa?" tanpa kusadari aku menanyakan hal tersebut.
"tempat itu jauh dari sini."
"emang dimana sih?"
Pria ini menghela napas panjangnya seraya menatap langit, kedua tangannya ia masukkan kedalam saku jaket hitam yang dikenakannya. Padahal udara cukup panas dimusim panas ini, tapi entah mengapa anak ini betah sekali mengenakan jaket seharian penuh. Belum sempat kujawab pertanyaan batinku sendiri, tapi aku kembali dikejutkan oleh tatapannya yang tiba-tiba menatapku intens, ada tatapan sendu yang disembunyikannya. Sepertinya pria ini memang sedang menanggung beban besar yang sama sekali tak ingin diketahui oleh orang lain.
"Italia," ucapnya pada akhirnya.
"apa?"
"tempat favorit gue buat dinner."
Aku terkekeh pelan menatapnya, kumengerjap beberapa kali sebelum merutuki diriku yang menanyakan hal tadi. Pria ini cukup sensitif jika menyangkut tanah kelahirannya atau mungkin profilnya.
"k-kalau begitu gimana kalau kita makan di tempat favorit gue," tawarku gugup.
Rigel mengangguk tanpa menjawab sepatah katapun. Pria ini sama sekali tak tersentuh. Dan entah mengapa suasana selalu menjadi kaku alih-alih aku berusaha membuatnya nyaman.
"uhm Rigel," panggilku saat kami tiba di halte bus.
Pria tinggi ini hanya bergumam, "hm."
"bukankah kita seangkatan?" tanyaku untuk yang kedua kalinya.
Ia kembali bergumam, "hm."
"tapi kenapa kita tak pernah bertemu sebelumnya? Maksud gue, di setiap kelas. Harusnya kita justru sering bertemu dong?"
"gue ambil kelas pribadi, diruang pribadi, dan dosen pribadi," jawabnya tenang namun terbuka.
Dan tanpa kusadari aku mengucapkan, "tapi kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Für Elise
Romance[Tolong follow akunku dulu ya sebelum baca, terima kasih] ***** 3 tahun berlalu sejak kejadian luar biasa itu terjadi, aku bahkan masih mengingat betul saat pertama kali bertemu dengannya. Dia adalah sosok gagah yang dengan lembutnya memainkan lagu...