Senin pagi yang cerah, kicauan burung terdengar seolah menjadi melodi indah pagi ini. Aku menghela napas panjang saat langkahku kembali memasuki gerbang tua dari bangunan penuh berjuta cerita yang tak pernah tidur sekalipun. Oxford University. Setelah seminggu aku mengambil cuti untuk pemulihan, akhirnya kembalilah aku ke rutinitasku yang sedikit kurindukan.
"hey, how about that time off? find lots of guys to date? (bagaimana cuti selama itu? menemukan banyak pria untuk diajak kencan?)" lirih profesor Helena Smith saat aku membantunya membawa banyak kertas
"Pardon?" aku memastikan ucapannya lagi.
"awh forget it and put those papers on my table! (awh lupakan itu dan letakkan kertas-kertas itu diatas mejaku!) "
Aku mengangguk pelan tanpa membalas ucapannya lagi. Entah mengapa aku sama sekali tak ingin berdebat dengan profesor Helena. Menatap bagaimana wanita itu berjalan dengan angkuhnya saja membuatku ingin menendangnya dari belakang.
Lupakan segala hal tentang wanita itu Serra, dan kembali ke rutinitasmu. Ucap batinku.
Aku berjalan melewati lorong temaram ini, hingga tanpa sadar langkahku berhenti tepat didepan sebuah galeri musik berpintu putih yang terbuka lebar. Sebuah piano tua terpampang jelas tepat didepan sebuah jendela besar yang mengarah ke halaman Oxford. Namun entah mengapa ruangan ini justru mengingatkanku pada sosok yang biasa memainkan Für Elise dengan piano itu. Seolah ada bayangan punggung tegap yang menghiasi udara kosong tepat didepan piano yang berdiri dengan tegapnya disana.
Perlahan namun pasti langkahku mulai memasuki ruangan terang ini, kutatap satu persatu alat musik yang terpajang disana dengan rapinya, hingga tatapanku terkuci pada sebuah biola indah yang diletakkan tepat disebelah piano tua kebanggaan Rigel ini. Kuletakkan tumpukan kertas ini diatas piano yang tertutup, sesekali kusentuh lembut piano ini, terasa dingin. Bahkan kupetik satu per satu kuncinya hingga menimbulkan sebuah nada aneh namun indah menurutku. Hingga tanpa kusadari, sebuah senyuman mulai terlihat sangat tipis diantara bibirku saat tanganku memetik beberapa kunci pada piano ini.
Namun aku adalah Serra yang tak akan terbuai dengan kunci indah milik piano. Karena hidupku adalah sebuah seni yang diciptakan oleh melodi unik milik biola tua satu ini. Kugapai badan biola ini dengan pasti dan mulai kumainkan. Entah angin dari mana yang membuatku tanpa sadar memainkan lagu Für Elise. Aku sangat memahami bahwa melodi ini memiliki arti yang teramat mendalam, apalagi atas kejadian yang dengan cepatnya terjadi dalam seminggu ini membuatku semakin sesak saat memainkannya. Tapi di titik itu pula aku sadar bahwa aku sangat mengagumi sosok Beethoven yang begitu mencintai Therese Malfatti hingga menjadikan melodi ini sebagai melodi yang sangat indah pada masanya. Sangat indah.
Kutenggelamkan diriku pada setiap nada yang mengalum indah, hingga sebuah nada lain mulai terdengar lebih indah lagi. Sebuah petikan dari kunci piano tua disampingku ini mulai mengikuti alur melodi ini dengan alumnya. Bahkan perpaduan kedua alat musik ini mampu membuatku tak bisa mengatakan sepatah kata pun. Aku kehilangan kata-kataku saat mulai menoleh dan mendapati sosok itu yang kini menatapku hangat.
Rigel? panggilku tak bersuara.
Seolah mendengar panggilan batinku, pria itu hanya tersenyum manis menatapku. Namun saat itu juga permainan biolaku terhenti karena adanya nada cello indah dibalik petikan piano ini, dan tentu saja cello tidak akan mengeluarkan alunan nada indah jika tak ada yang memainkannya.
"Athena?" panggilku terkejut setengah mati.
"oh hai Serra, kenapa berhenti? Aku sangat menikmati melodi Für Elise tadi," ujar Athena riang.
"ah maafkan aku Athena, aku baru ingat untuk meletakkan tugas para siswa di meja Profesor Helena"
"I see"

KAMU SEDANG MEMBACA
Für Elise
Romance[Tolong follow akunku dulu ya sebelum baca, terima kasih] ***** 3 tahun berlalu sejak kejadian luar biasa itu terjadi, aku bahkan masih mengingat betul saat pertama kali bertemu dengannya. Dia adalah sosok gagah yang dengan lembutnya memainkan lagu...