Für Elise || 18

38 15 43
                                    

Aku termenung menatap pepohonan yang mulai menguning di salah satu bangku taman di halaman Oxford. Kelas terakhir baru saja selesai dan entah mengapa langkahku tak sanggup untuk meneruskan perjalanan pulang. Karena itulah aku memilih untuk terdiam dan memikirkan banyak hal disini. Ucapan Raymond beberapa saat lalu membuat seolah persendianku runtuh. Dadaku seolah sesak saat memikirkannya dan hati ini tak henti-hentinya berdoa atas keselamatannya. Mengingat apa yang pernah pria itu ceritakan tentang saudaranya, Rolland, membuatku kehilangan akal sehatku. Pikiranku seolah terbang entah kemana dan diselimuti oleh kegelapan yang tak ingin kuhadapi. Ini terlalu berbahaya, dan Raymond melakukannya seorang diri. Apa pria itu gila.

"Serra," panggil suara yang terdengar tak asing di telingaku.

"oh hei," balasku gugup.

"lo ada masalah?" tanya Evan yang langsung duduk disampingku.

Aku menggeleng pelan untuk menanggapinya. Aku tak ingin Evan tau masalah ini, dia pasti akan sangat mengkhawatirkanku. Bisa-bisa ia akan mengirimku pulang dan mengaturkan kelas online dari sana. Aku tak ingin semua itu terjadi.

"uhm... Stella mana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"oh, dia ada kelas tambahan dengan Profesor Robert"

"I see"

"lo sendiri ngapain disini? Merenungi nasib lo? Gue tau Ra, nasib lo emang ngenes tiap hari. Sabar ya"

"gue sleding juga mulut lo," cercahku yang membuat pria ini terkekeh riang.

"lah elo ngelamun aja dari tadi disini"

"emang apa salahnya kalo gue menikmati musim gugur? Gue suka kok sama musim gugur.

"sejak kapan?"

"sejak dulu"

"kok gue ga tau?"

"ya elo aja yang ga perhatian sama gue"

"maaf Ra," kali ini suara itu terdengar sendu tiba-tiba.

Jleb, langit seolah kembali runtuh diatas kepalaku saat menyadari nada suara itu. Apa dia menyesal atas apa yang dilakukannya selama ini? Kenapa mendengar ucapannya seperti ini justru membuat mataku kembali memanas. Please Ra jangan nangis. Kucoba sekuat tenaga menahan agar bulir ini tak lagi jatuh dari pelupuk mataku.

"lo mau tau jawaban gue 2 tahun yang lalu kan?" Evan kembali meneruskan ucapannya.

"j-jawaban apa?" tanyaku gugup.

"atas pernyataan lo yang ga pernah gue jawab.

"kak," aku beranjak dari tempat dudukku dan menatapnya tajam. "gue ge pernah minta jawaban atas pernyataan gue. Gue udah bilang kan kalau gue akan tetap dukung apapun keputusan lo. Jadi, please gue ga mau denger apapun"

Aku segera melangkah meninggalkan Evan sebelum teriakan nyaring muncul dari bibir pria itu. "I love you Ra"

Apa?? Apa aku sudah gila? Tidak, aku tidak gila. Evan lah yang gila. Apa dia tak berpikir tentang Stella yang selalu ada disampingnya? Lalu apa arti sosok Stella selama ini?

Langkahku terhenti seketika dan sangat sulit untuk memulainya kembali. Persendianku runtuh seketika, begitu pun dengan tubuhku yang membeku saat mendengar ucapan itu. Mataku kembali memanas hingga bulirnya satu per satu jatuh membasahi pipiku.

"gue tau gue memang terlambat Ra, tapi ini adalah jawaban gue dari dulu. Bahkan hingga saat ini dan detik ini. Dan jawaban itu sama sekali tak berubah. Ra, gue hanya ingin lo bebas dan mencapai semua cita-cita lo. Itulah kenapa gue ga pernah memberikan jawaban ini. Gue memang pengecut, gue terlalu takut saat melihat lo, melihat senyuman lo dan tawa lo. Melihat semua itu membuat gue ingin terus menarik lo dalam dekapan gue dan tak ingin melepasnya sedetik pun. Gue ga ingin ngekang lo menjadi apa yang gue inginkan. Itulah kenapa gue selalu berpikir untuk membebaskan lo hingga waktu yang tepat untuk menarik lo menjadi milik gue sepenuhnya. Tapi itu terlalu berat buat gue Ra, semakin gue ngelihat lo, semakin kacau perasaan gue. Apalagi dengan adanya Rigel yang selalu ada disamping lo dan membuat lo nyaman. Gue ga sanggup. Gue bahkan tak pernah bisa tidur nyenyak saat memikirkannya. Gue terlalu sayang sama lo Ra"

Für EliseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang