Kucoba membuka mataku perlahan, sinar mentari hari ini mampu membuat mataku silau. Sepertinya siluetnya menyambutku dengan ramah, namun hatiku sama sekali tak mengacuhkannya.
Dadaku masih terasa sesak saat menyadari bahwa siluet itu adalah sosok yang sama sekali tak ingin kulihat. Kupalingkan pandanganku untuk menyapu seluru ruangan ini.
"Serra!" panggil suara yang sangat familier ditelingaku.
Kudapati diriku kini telah berada disebuah ruangan dengan bau obat yang samar-samar menerpa indra penciumanku. Aku juga mulai merasakan selang infus yang kembali terpasang dipunggung tangan kiriku, ditambah lagi dengan selang oksigen yang membuat pernapasanku sedikit lega.
"Ra, lo denger gue kan?"
Wajah pria itu kini menatapku dengan perasaan khawatir. Kak Evan bahkan terlihat tampan seperti biasanya dalam pandanganku.
Namun yang hanya mampu kulakukan saat ini hanyalah mengangguk pelan sebagai balasan dari pertanyaannya.
"syukurlah! Gue bener-bener khawatir Ra," Evan mulai mengenggam tanganku lembut.
Aku mulai tersenyum singkat mendapati perlakuannya. Kak Evan adalah sosok yang sangat mengerti aku lebih dari siapapun, bahkan kedua orang tuaku.
"Serra!" kali ini panggilan itu tampak lesu dari siluet indah yang sebenarnya tak ingin kulihat lagi.
Rigel menatapku sendu disana, bahkan aku sempat melihat kilauan bening disekitar mata elangnya yang indah. Apa pria ini barusaja menangis? Ia berusaha meraih wajahku dengan lembut saat sebuah tangan menepisnya dengan kasar.
"jangan sentuh dia!" sahut Evan penuh penekanan.
"lo siapanya dia? Hanya sebatas pertemanan kan?" kali ini Rigel kembali mengeluarkan kepribadian elang itu setelah seharian kemarin ia menjadi seekor angsa dihadapanku.
"gue LEBIH dari temannya."
"konyol sekali!"
"RIGEL EUGINO GERALD!! LO YANG TELAH BIKIN SERRA SAMPAI SEPERTI INI. JADI GUE PERINGATKAN LO UNTUK MENJAUHINYA."
"setidaknya gue tak sepengecut lo."
"APA LO BILANG?"
Evan segera mendekati Rigel dan mendorongnya hingga punggung pria itu menabrak meja besi dengan keras sekali.
"KAK EVAN, CUKUPP!!" teriakku tertahan.
Evan segera mendekatiku dan meninggalkan Rigel yang kini hanya terdiam menatap kami berdua.
"Serra, kenapa? Apa ada yang sakit?" tanya Evan khawatir.
Aku menggeleng pelan membalasnya.
"gue butuh waktu untuk berbicara berdua dengan Rigel," tambahku.
"RA!! PRIA BRENGSEK ITU UDAH BIKIN LO KAYAK GINI, DAN LO MASIH BELA DIA? OTAK LO KEMANA RA?"
"please kak, jangan bikin keributan disini"
"oke, ini terakhir kalinya, gue ga mau sampek lo berhubungan dengan dia lagi. Lo paham?"
Aku mengangguk pelan.
"thanks ya kak!"
"Freya dan Stella akan datang satu jam lagi untuk nemenin lo disini. Jadi lo ga butuh pria sialan itu untuk jaga lo disini," aku bersumpah Evan melirik Rigel dengan dinginnya saat mengucapkan kata 'pria sialan' tadi.
Namun sebagai balasannya, aku hnya bisa mengangguk alih-alih membalas celotehan Evan seperti biasanya. Faktanya, tubuhku sendiri masih sangat lemah dan aku tak ingin menghabiskan energiku lagi untuk berdebat dengan pria yang sempat memenuhi relung hatiku ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Für Elise
Romance[Tolong follow akunku dulu ya sebelum baca, terima kasih] ***** 3 tahun berlalu sejak kejadian luar biasa itu terjadi, aku bahkan masih mengingat betul saat pertama kali bertemu dengannya. Dia adalah sosok gagah yang dengan lembutnya memainkan lagu...