Waktu telah menunjukkan pukul 00.25 waktu setempat dan aku sama sekali tak bisa memejamkan kembali mataku. Tatapanku terus tertuju pada lukisan indah yang dilukis pria itu disana. Tapi tunggu, aku berada diatas ranjang pria itu, lantas dimana dia?
Aku mulai beranjak dan keluar dari kamar mewah ini. Penerangan apartemen ini sama sekali tak pernah redup sedikit pun, tentu saja karena phobia yang Rigel miliki.
"Rigel!" panggilku pelan.
Tak ada jawaban. Apa pria itu ada di ruang kerjanya?
Tanpa sadar langkahku mulai menuju tempat paling sensitif milik pria itu, dengan tanda kutip memberanikan diri. Perlahan tapi pasti kuputar knop pintu coklat dengan ukiran mewah ini, hingga tatapanku dikejutkan oleh sebuah perpustakaan mewah dengan meja dan kursi dimana Rigel biasanya bekerja, belajar, ataupun sekedar membaca bukunya.
Dan benar saja bahwa pria itu tengah duduk disana dengan tenang, tapi bukan karena ia membaca buku atau mengerjakan pekerjaan perusahaan yang ditanganinya, melainkan tengah merajut sesuatu dengan buntalan wol berwarna putih salju diatas mejanya.
"lo nggak tidur?" tanyaku.
Pria itu lantas menatapku dan tersenyum.
"lo sendiri kenapa bangun?" tanyanya lembut.
"gue mimpi buruk dan ga bisa tidur lagi"
"kemari!" pintahnya yang membuatku langsung menurut dan berjalan mendekatinya.
Pria tampan itu segera beranjak dan memakaikan sebuah syal putih yang dirajutnya sendiri dileherku.
"bagaimana?" tanyanya lembut.
"hangat," jawabku singkat.
"Ti voglio bene Serra," ucap Rigel penuh makna.
"uhm, kalau boleh tau itu artinya apa ya?"
"I love you Serra"
Astaga, aku segera membulatkan mataku sempurna. Bukan hanya karena Rigel mengucapkan kata itu, melainkan karena Raymond juga mengucapkan kata yang sama padaku beberapa saat lalu.
"Serra!" ucap Rigel menggoyangkan tubuhku pelan.
"iya Gel," sial, kenapa aku gugup?
"lo ga papa?"
Aku menggeleng pelan membalas ucapan itu, aku juga bersusah payah memasang senyuman diantara bibirku, lantas mulai bergumam, " thanks ya Gel, syal nya nyaman banget"
"hanya syal nya?"
"sorry?" aku mulai memastikan arti ucapannya.
"hanya syal yang bikin nyaman?"
"lantas?"
"bagaimana dengan posisi gue disisi lo?"
"Rigel please, kita sudah bicarakan ini"
"gue ga peduli Ra, sekalipun semesta tak memihak gue, bahkan asteroid diluar sana ingin meruntuhkan pertahanan gue. Gue akan tetap bertahan mendekap lo"
"itu terlalu posesif Gel"
"apa? Posesif? Jadi itu yang lo pikirkan tentang gue?"
"Gel please, bukan kayak gitu maksud gue"
"lalu apa Ra? Kenapa banyak banget yang harus lo sembunyikan dari gue? Kenapa hanya gue disini yang ga tau apa-apa. Apa lo tau bagaimana perasaan gue saat lo harus berpura-pura didepan gue? Padahal gue juga berjuang untuk melepas masa lalu gue"
Jleb, entah mengapa hati ini terasa begitu sakit. Bahkan perlahan buliran bening ini mulai jatuh membasahi pipiku. Seolah aku merasakan semua penderitaan yang Rigel rasakan selama ini. Aku justru begitu marah pada diriku yang telah berbuat gegabah dari awal. Harusnya aku tak ada di posisi ini, harusnya aku tak menyalakan lampu di koridor ruang musik pada saat itu, harusnya aku tak memainkan Für Elise dengan biolaku pada saat itu. Harusnya semua tak terjadi, begitu juga dengan panggilan itu. Dan dengan segala ancaman yang ada didalamnya. Untuk saat ini Athena telah hadir dan memperingatkan banyak hal kepadaku. Tapi apa yang ku lakukan? Kenapa aku justru semakin tak bisa melepas Rigel?

KAMU SEDANG MEMBACA
Für Elise
Romans[Tolong follow akunku dulu ya sebelum baca, terima kasih] ***** 3 tahun berlalu sejak kejadian luar biasa itu terjadi, aku bahkan masih mengingat betul saat pertama kali bertemu dengannya. Dia adalah sosok gagah yang dengan lembutnya memainkan lagu...