Aku terdiam keluh, tubuhku bahkan enggan melakukan apapun. Saat ini kami telah berada di London. Rigel mengemudikan mobilnya menuju Oxford dengan sangat tenang, hingga aku mampu merasakan kehangatan musim gugur diluar jendela mobil ini. Musim gugur yang penuh kebohongan, dari dalam sini, suasana akan tampak indah dan hangat dengan matahari yang bersinar cerah dan dedaunan kering yang mulai menguning dan bergururan. Nyatanya, saat kubuka jendela ini, hanya dingin yang mampu kurasakan, kehangatan itu seolah sirna saat aku mulai melihatnya lebih dalam.
"Ra," panggil Rigel lembut.
Sementara itu, aku mampu merasakan tangan Athena dari kursi belakang yang menggapai bahuku untuk memberikan kode bahwa Rigel tengah memanggilku saat ini.
"kenapa Gel?" tanyaku.
"lo gapapa kan?"
"enggak, gue nggak papa"
"jangan bohong"
"iya, gue gapapa"
"lo mau lihat turnamen tenis di Wimbledon?"
"hah?"
"lo suka tenis kan?"
"iya, suka, kenapa?"
"mau lihat?"
"ga usah deh"
"gue akan cari Ray sampai dapet, gue janji. Untuk saat ini, jangan diri lo sendiri hanya karena lo memikirkannya"
Kutatap dalam manik mata coklat ini, terlihat berbinar dengan pancaran semangat.
"oke," jawabku.
Ia tersenyum simpul sebelum mengubah rute perjalanan mobil ini.
"gue akan ajak lo keliling London hari ini," ucapnya.
"tapi ini sudah menjelang sore Gel, lo kan....."
"gue akan mencoba, untuk beradaptasi dengan malam, dengan gelap, dengan kerlipan lampu dimalam hari, dan dengan gandengan lo yang menguatkan gue"
"Gel," panggilku terkejut dengan ucapan akhir Rigel.
"sebagai sahabat"
"oke," aku mengangguk menanggapinya.
Dan berhentilah mobil ini di depan stadion tenis terbesar di Britania Raya ini, sekaligus menjadi yang terbesar ke 2 didunia setelah Arthur Ashe Stadium di US. Rigel bahkan meminta Athena untuk mengendarai mobilnya dan mengantarkan nyonya Gerald menuju rumahnya. Dan disinilah aku, bersama Rigel ditengah dinginnya peralihan musim gugur dibawah hembusan angin yang menggugurkan dedaunan yang kering dan menguning.
"kok sepi ya Gel?" tanyaku saat menatap pintu masuk wimbledon.
Alih-alih menjawabnya, pria ini justru dengan bebasnya menggandeng tanganku dan memasuki stadion besar ini. Dan benar saja apa yang kupikirkan, tak ada seorang pun disini. Lagipula siapa yang mau bermain tenis di hari yang dingin dan berangin ini? Namun satu hal yang membuatku tercengang adalah sebuah piano tua yang terpasang tepat ditengah lapangan nan luas ini. Apa Rigel yang menyiapkannya?
"Gel," gumamku.
"ingin coba memainkannya?"
"gue ga yakin"
"lo bisa mencobanya dulu kan? Lagipula tak ada orang disini"
"kenapa lo lakuin ini ke gue?" tanyaku memastikan.
"gue hanya ingin berbagi mimpi gue pada sahabat gue, emang salah?"
Aku menggeleng menanggapinya, lantas mulai bergumam, "gue akan mencoba memainkannya sesuai apa yang lo ajarkan ke gue "
Pria ini tersenyum, lantas ia menggandengku menuju tengah lapangan dan mendekati piano tua nan terpampang epic disana. Dan disinilah aku, duduk berhadapan dengan piano tua nan indah ini. Entah mengapa duduk dipiano ini membuatku teringat kali pertamaku bertemu dengan sosok ini, kali pertamaku mendengar lantunan melodi karya Beethoven dari balik pintu putih ruang musik itu, kali pertamaku melihat punggung tegapnya yang seolah menghadap matahari.
"apa yang lo pikirkan?" suara Rigel berhasil membuyarkan pikiranku.
"kali pertama gue dengar lo memainkan Für Elise dengan piano tua itu," balasku jujur.
"piano itu adalah salah satu piano kesayangan gue setelah piano tua yang ada di kamar gue"
"wow"
"lo tau apa alasannya?'
Aku menggeleng pelan.
"piano itu adalah piano pertama yang gue beli dengan uang yang gue hasilkan sendiri setelah bertahun-tahun gue bekerja"
"bekerja?"
"gue mengambil alih 7% dari saham gue di perusahaan IBM dan mengembangkannya seorang diri. Dan dengan pendapatan pertama itu, gue mulai membeli sebuah piano yang merupakan pasangan dari piano tua yang kakek berikan padaku. Piano itu dibuat oleh saorang pengerajin kayu sekaligus seniman yang sama, beliau sengaja membuatnya berpasangan untuknya sendiri dan istrinya. Beliau juga membuat piano itu di ulang tahun pernikahannya yang ke 40 tahun tepat di tahun 1940"
"kisah yang indah," gumamku.
"ya, karena itu gue mendonasikan pasangan dari piano itu di ruang musik agar siapapun bisa merasakan dalamnya perasaan sang pengrajin itu pada istrinya"
Aku tersenyum simpul saat mendengar kisah indah itu, dan setelahnya, tangan ini tanpa sadar mulai memetik satu persatu not piano ini hingga menciptakan sebuah melodi yang begitu indah. Für Elise, itu adalah melodi pertama yang kumainkan saat Rigel mengajarkanku untuk memtik kunci piano ini. AKu memang tak terbiasa dengannya, tapi ini cukup menyenangkan. Dan saat inilah aku mulai memikirkan hal yang paling menyenangkan dalam hidupku. Saat satu persatu jemariku memetik kunci piano ini dengan indahnya, saat itulah pikiranku dipenuhi oleh senyuman seseorang yang amat berarti dalam hidupku.
Raymond, panggil batinku terisak hingga tanpa sadar bulir bening ini mulai membasahi pipiku.
"hentikan!!" cegah Rigel menahan tanganku.
"Ray kan?" tanyanya
Aku terdiam, hanya isakan lembut yang kini mampu keluar dari bibirku. Namun pelukan Rigel yang hangat sedikit membuatku tenang walaupun hatiku tetap terasa bagitu sakit.
"lo berhak bahagi Ra, jika memang Ray adalah sumber kebahagiaan lo, gue akan berusaha keras untuk mencarinya," ujar pria ini lembut.
"thanks Gel"
Kamu dimana Ray? Salah paham, semua ini hanya salah paham, harusnya tak seperti ini.
Wimbledon terasa semakin dingin dengan perlahan hilangnya siluet jingga yang mentari ciptakan di waktu senja ini. Harusnya kami segera pulang mengingat Rigel memiliki pobia akan kegelapan yang cukup parah. Tapi pria ini justru menahanku dan mulai memainkan melodi Moonlight Sonata karya Mozart di piano ini. Apa dia tidak akan lagi memainkan Für Elise setelah ini?
*****
To be continued...
Jangan lupa tinggalkan vote dan comment nya yaa....
Thank you and have a nice day...

KAMU SEDANG MEMBACA
Für Elise
Romance[Tolong follow akunku dulu ya sebelum baca, terima kasih] ***** 3 tahun berlalu sejak kejadian luar biasa itu terjadi, aku bahkan masih mengingat betul saat pertama kali bertemu dengannya. Dia adalah sosok gagah yang dengan lembutnya memainkan lagu...