Disinilah aku berada, kembali dalam naungan indah melodi für elise yang Ridel mainkan menggunakan piano tua kesayangannya. Pria ini mengatakan ingin menjelaskan sesuatu kepadaku, tapi ia justru tak mau mangatakan sepata katapun dan memilih untuk memainkan piano tua ini. Ia bahkan membiarkanku untuk duduk disebelahnya dan menikmati permainan pianonya ini. Sudah berkali-kali aku mendengar melodi ini, tapi tetap saja pikiranku menolak ucapan rasa bosan setiap melodi ini mengalum lembut ditelingaku.
Sesekali kutatap wajah pria ini. Ia tampak sedikit kacau dari pertemuan kami terakhir kali. Ia bahkan tak mempedulikan keadaannya yang mulai berantakan. Tapi melihatnya begitu menikmati permainan für elise nya membuat hatiku sedikit lega bahwa ia baik-baik saja.
"Rigel," panggilku di tengah permainannya.
"kalau lo hanya ingin mengacaukan suasana lebih baik diam," sergahnya tetap memainkan für elise dengan permainannya.
"gue ga akan kacaukan suasana kok, gue cuma mau minta tolong. Lo bisa ajarin gue bermain piano?"
Skak, pria ini segera menghentikan permainan pianonya dan menatapku. Sementara aku hanya memasang senyuman tulus kepadanya. Sebenarnya ada apa dengan pria ini? Ia kembali menjadi Rigel yang dingin.
"lo mau mengalihkan pembicaraan?" ujarnya ketus.
Aku segera menggeleng cepat, "enggak kok, gue serius ingin belajar piano"
"bukannya lo sudah bisa bermain biola?"
"apa salahnya gue belajar bermain piano? Sepertinya cukup menyenangkan"
"oke, gue akan ajari lo setelah lo beri gue penjelasan kenapa lo ninggalin gue dan pulang ke Indonesia"
"bukankah lo sudah bilang bahwa nyonya Gerald sudah menjelaskan semuanya?"
"tapi gue ingin mendengarnya langsung dari lo Serra"
"mau gue jelaskan berapa kali pun jawabannya akan tetap sama seperti penjelasan nyonya Gerald"
"oke," sepertinya pria ini sudah cukup putus asa atas jawabanku.
"so, jelaskan pada gue apa yang terjadi pada Raymond selama ini!" pintahku tegas kali ini.
"apa lo sepeduli itu dengan Ray?"
"ayolah Gel, apa lo harus mempermasalahkan hal kecil ini?"
"gue jelous Ra"
"GEL PLEASE!!!" bentakku kali ini yang membuatnya berhasil menenangkan diri atas kecemburuan tak jelasnya.
"oke," balasnya.
"hidup raymond lebih berat dari gue. Dia harus berjuang memulai segalanya dari awal disaat seharusnya dia memiliki segalanya. Saat ayah dan ibu bercerai, Ray memutuskan ikut ibu karena dia mengetahui semua kebusukan yang ayah ciptakan. Mereka pindah ke Indonesia dan menetap di Bali. Karena sejak perceraian itu ayah hanya meninggalkan 1 kartu yang hanya berisi 1000 euro, mereka harus hidup berhemat. Mereka mengambil setengah dari uang itu untuk jadi modal perusahaan. Cukup berat bagi Ray yang harus menjadi tulang punggung untuk ibu, sementara karena sifat ibu yang begitu lembut dan mementingkan putranya, beliau diam-diam mendaftarkan Ray di Oxford untuk tetap melanjutkan pendidikannya. Saat itu Ray sempat menolak, tapi Rolland berhasil meyakinkannya. Akhirnya mereka pindah ke Oxford dan Ray memutuskan untuk mengambil jurusan kedokteran sesuai apa yang diinginkannya. Saat itu semua berjalan dengan lancar, bahkan Rolland telah mengembalikan hak saham atas IBM kepada Raymond. Tapi Raymond bilang akan memindahkan hak itu kepada ibu dan gue. Dia bahkan bilang akan berusaha semaksimalnya untuk membebaskan gue dan Rolland dalam belengguan ini. Tapi saat itu gue terlalu bodoh hingga tak ingin melihatnya sekali pun karena keegoisannya yang memilih meninggalkan kami bersama pria brengsek itu. Rolland dan Ray bekerja sama atas semua hal tentang kita. 6 tahun yang lalu saat Rolland mendapatkan data gelap milik ayah, dia menghubungi Raymond untuk datang ke Amsterdam dan menyembunyikan data itu sebelum dilaporkan. Tapi Ray menolak hal itu, karena dia tau kalau di dalam data itu, semua nama perusahaan telah ditulis atas nama gue, dan Ray ga ingin gue gterlibat dalam penyelidikan badan intelligent. Karena itu Ray lebih memilih menyelamatkan ibu yang saat itu disekap, padahal ibu sudah memintanya untuk pergi menemui Rolland. Saat itulah semuanya terjadi, disaat penyelamatan itu terjadi, Ray tertembak dan mengalami koma selama 1 tahun. Saat itu juga Rolland mengalami kecelakaan. Harusnya saat itu Ray yang meninggalkan kita karena tembakan itu melesat dan mengenai jantungnya. Tapi Rolland bertekat untuk memberikan jantungnya pada Ray dan membiarkannya hidup. Itulah kenapa sampai sekarang Ray selalu terbayang-bayang dengan segala hal tentang Rolland. Ia merasa bersalah karena saat itu tak menemui Rolland, padahal ia tau bahwa penyekapan ibu sudah direncanakan dan ayah tak akan mungkin menyalkitinya. Setelah sadar Ray mendapat kecaman dari ayah dan langsung diasingkan di pulau Sisilia selama 1 tahun. Masa pemulihan Ray dipenuhi dengan siksaan, tapi dia tetap bungkam atas rencananya dengan Rolland. Dia sendirian dengan memikirkan segala kesalahan yang sebenarnya itu bukanlah salahnya, memikirkan tanggung jawabnya sebagai penerus IBM yang harus menyelamatkan banyaknya nyawa orang yang terancam, dan memikirkan cara untuk melanjutkan rencananya dengan Rolland. Dia sangat kacau saat itu, tapi dia berusaha untuk menjadi kuat dengan semua tanggung jawab yang dilimpahkan diatas pundaknya. Dia mengalami insomia dan depresi berat, tapi dia tetap tersenyum saat menghadapi banyak orang. Lo tau kan Ra, bagaimana beratnya menjadi dia, apalagi dengan jantung Rolland yang berdetak ditubuhnya. Lo tau betapa menyesal dan merasa bersalahnya dia," jelas Rigel dengan air mata yang sudah bercucuran.
Kupeluk tubuh rapuh dan berantakan pria ini, hingga tanpa sadar aku juga mulai meneteskan air mata. Apa yang Raymond alami memang begitu berat, hidup dalam tanggung jawab dan penantian banyak orang untuk diselamatkan.
"Raymond dulu orang yang terbuka dan ceria, dia selalu menceritakan hari-harinya dengan gue dan Rolland, suka maupun dukanya. Tapi sekarang ia telah berubah menjadi orang yang murung. Dia akan ceria didepan orang dan menceritakan segala hal yang ingin dia selamatkan, dia tak akan menceritakan keadaannya yang sebenarnya pada kami sekuat apapun kami memaksanya. Ibu merasakan perubahan itu dan mengatakan bahwa Ray telah hancur, hidupnya sangat kacau dibelakang kami. Gue terlalu bodoh karena tak mau mempercayainya, gue yang terlalu bodoh karena tak mendengar kata-katanya, padahal dia memprioritaskan gue diatas hidupnya sendiri"
Aku menghela napas pelan sebelum melepaskan pelukan Rigel dan menatapnya lekat.
"jangan menyalahkan diri lo sendiri Gel," ucapku menenangkan.
"I love you Ra"
"I know"
"kenapa lo ga mau menjaawabnya?"
"ada banyak yang harus gue pastikan dalam hati gue"
"seperti apa?"
"jujur, 2 tahun yang lalu, ayah gue hampir mati keracunan karena paman gue yang berkhianat. Dia ingin merebut perusahaan yang diwariskan kakek gue pada ayah. Gue kacau saat itu Gel, sudah lebih dari setengah tahun ayah gue ga sadarkan diri. Gue hampir gila karenanya. Tapi seorang dokter datang dan mengambil alih perawatan ayahku. Setelah itu, dia melakukan semua prosesnya dan ayah gue bisa diselamatkannya dalam waktu 1 tahun. Gue sangat berhutang budi padanya, dia penyelamat hidup gue. Gue ga akan maafin diri gue sendiri jika gue harus kehilangan ayah gue. Ibu gue sudah depresi hingga dia juga harus dirawat dirumah sakit. Tapi dokter itu merawat ayah dan ibu dengan penuh kesabaran dan kelmbutan. Hingga keluarga kami bisa bersatu kembali. Gue sangat berterima kasih padanya atas apa yang dilakukannya pada kami selama 1 tahun itu"
"jangan bilang kalau dokter itu adalah...."
"Raymond," balasku yang berhasil membuat Rigel terdiam.
"jadi lo sedang menjaga hati lo sendiri untuk Raymond?"
"gue ga tau, selama 1 tahun itu, Ray memperlakukan gue seperti seorang keluarga. Dia membantu gue merawat ayah dan ibu gue. Dia membantu gue menyelesaikan banyak hal dan merawat gue. Dia melindungi gue dari banyak orang yang berniat jahat pada keluarga gue. Dia menemani gue dalam suka maupun duka, menggandeng gue saat gue tersesat dan merayakan banyak hal saat gue bahagia. Banyak hal yang harus gue lakukan untuk membalasnya. Mungkin Ray sudah melupakan gue, tapi gue harus tetap membalas semua kebaikannya"
"lo jatuh cinta padanya kan?"
"kenapa lo berpikir seperti itu Gel?"
Rigel tersenyum simpul, "gue ataupun Ray, ga ada bedanya. Semua hanya tergantung pada hati lo. Lo harus jujur pada diri lo sendiri Ra. Für Elise adalah melodi yang indah. Anggap saja gue ga pernah menyatakan perasaan gue pada lo. Jika lo Therese Malfatti, maka izinkan gue menjadi Ludwig Van Beethoven"
"Rigel?" panggilku pelan.
Pria ini menepis semua air matanya dan menatapku dengan mata berbinar. Ia bahkan menunjukkan sebuah senyuman tulus diantara bibirnya.
"gue bersedia mengajarkan lo cara bermain piano"
Tak mampu berkata-kata lagi, aku hanya bisa membalas pria ini dengan senyuman yang aku sendiri tak tau apa artinya. Dan pria ini mulai mengajarkanku memainkan melodi Für Elise yang begitu indah dalam indra pendengaran gue. Inikah yang aku harapkan? Aku bahkan merasa begitu lega setelah mengatakan semuanya pada Rigel.
Kutatap cahaya senja kekuningan dari luar jendela kamar Rigel ini, dedaunan yang kuning mulai berguguran karena diterpa angin senja yang sejuk. Musim gugur di Italia benar-benar sangat luar biasa indah.
*****
To be continued...
Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan comment ya...
Thank you and have a nice day...

KAMU SEDANG MEMBACA
Für Elise
Romance[Tolong follow akunku dulu ya sebelum baca, terima kasih] ***** 3 tahun berlalu sejak kejadian luar biasa itu terjadi, aku bahkan masih mengingat betul saat pertama kali bertemu dengannya. Dia adalah sosok gagah yang dengan lembutnya memainkan lagu...