"gue minta maaf," gumam Rigel ditengah permainan Für Elise nya.
Aku segera menegakkan tubuhku dari sandaranku dibahunya. Kutatap wajah yang masih fokus menatap pianonya ini, hingga tanpa sadar tanganku mulai meraih tangannya dan menghentikan permainannya.
"buat apa lo minta maaf?"
Rigel mengalihkan pandangannya padaku dan mulai tersenyum lirih.
"atas semua yang terjadi," tambahnya.
"lo ga salah kok."
"tapi lo terlibat dalam masalah gue sendiri."
Aku menggeleng pelan menatapnya, kucoba memasang senyuman simpulku dengan susah payah untuk menenangkan suasana ini.
"sial," gumamnya.
"kenapa Gel?"
"gue bener-bener ga bisa menahannya."
"untuk?"
"memainkannya lagi."
"piano maksud lo?"
Pria itu lantas mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari manik mataku.
"Für Elise," gumamnya.
"apa?"
"gue ingin menjadi Mozart yang menyatakan perasaanku pada Constanze dengan menggunakan melodi indah milik Beethoven, melodi paling romantis di Eropa sekaligus diabad itu."
Aku sedikit tercengang dengan pernyataan itu, hingga tanpa sadar mulai berguman, "Für Elise ? "
Pria itu mengangguk dan mulai memainkannya kembali. Sudah berulang kali aku mendengar melodi ini, tapi tak sedikit pun goresan rasa bosan menjalari indra pendengaranku.
Justru mendengarnya membuat hatiku merasa tenang dan damai. Apalagi jika pria misterius ini yang memainkannya.
"sudah berapa lama lo nggak memainkan melodi ini Gel?" tanyaku tanpa sadar.
Pria itu menyeringai sembari terus memainkan melodinya.
"lo ga perlu menjawabnya jika memang itu adalah privasi lo," ucapku pelan.
"gimana dengan demam lo? Udah turun?"
Aku mengangguk pelan, Rigel benar-benar menghindari pertanyaan yang mengusik sisi sensitifnya. Tapi seperti halnya Rigel yang kukenal, ia tampak begitu tenang seolah tak memiliki masalah apapun, hal yang membedakannya saat ini hanyalah senyuman Rigel yang berhasil mengusir sikap dinginnya.
Sejak siang tadi pria ini tampak sedikit aneh dengan ucapan-ucapan yang terus terngiang dalam benakku. Tentang dia adalah seorang Mozart yang ingin menyatakan perasaannya pada Constanze dan melodi Beethoven untuk Therese Malfatti.
"lo udah tau kan tentang lukisan di kamar tadi?"
Apa?? Aku benar-benar menatapnya terkejut. Ucapan pelan itu seolah menghidupkan sarafku hingga aku sendiri merasa seolah tersengat listrik dalam hitungan beberapa detik.
"uhm... gue ga berniat seperti itu kok Gel, gue hanya tertarik dengan lukisannya dan Ray menjelaskannya pada gue."
"lo ga perlu sekaget itu, gue udah tau kok."
"gue minta maaf Gel."
"buat?"
"gue ga berniat ikut campur urusan lo."
Pria tampan itu segera menghentikan permainan pianonya dan mulai menatapku. Kali ini tatapan itu lebih hangat dari sebelumnya, ia bahkan mengelus puncak kepalaku dan menggenggam tanganku dengan lembut. Ada yang aneh dengan pria ini, entah apa, yang pasti ini sedikit awkward.
KAMU SEDANG MEMBACA
Für Elise
Romantik[Tolong follow akunku dulu ya sebelum baca, terima kasih] ***** 3 tahun berlalu sejak kejadian luar biasa itu terjadi, aku bahkan masih mengingat betul saat pertama kali bertemu dengannya. Dia adalah sosok gagah yang dengan lembutnya memainkan lagu...