11. Tuhan Aku Benar-Benar Bahagia

458 50 15
                                    

"Duh, ketebelan. Bikin kelihatan tua."

Andrea sedang bermonolog dengan dirinya sendiri di depan cermin kamar mandi kantornya. Jam sudah menunjukan waktu pulang kantor. Teman-temannya sudah beranjak pulang semenjak lima belas menit yang lalu. Tetapi Andrea malah sibuk membenarkan riasannya.

Andrea memoleskan sedikit lip tint pada bibir ranumnya sebagai sentuhan terakhir. Kemudian membereskan peralatan make up-nya kedalam pouch miliknya.

Sore itu ia memiliki janji untuk makan bersama Andre, kekasihnya. Seperti perempuan lainnya, Andrea tak mau penampilannya kacau pada kencan perdananya.

Walaupun mereka hanya memiliki janji untuk mengunjungi kedai mi ayam favorit mereka dulu, bagi Andrea itu tetap kencan perdana mereka.

Andrea memeriksa ponselnya, kemudian sedikit terburu-buru melangkah keluar gedung kantornya. Sesampainya di lobi, Andrea melihat Andre dengan mobil putihnya. Andre memakai kemeja biru dongker dipadukan dengan celana hitam.

Tampan, batin Andrea.

Andrea meneruskan langkahnya menuju Andre. Keduanya sejenak melupakan sekat diantara mereka. Menghiraukan semesta yang tak merestui mereka.

"Maaf ya, agak lama," ujar Andrea saat sampai di depan Andre.

"Nggak Papa, kok. Kalau yang di tunggu secantik ini." Andre mengacak pelan rambut Andrea. Kemudian membuka pintu mobil untuk Andrea.

Andrea tersipu dengan perlakuan Andre kepadanya. Semburat merah menghiasi pipinya, warna merahnya mengalahkan blush on tipis yang ia kenakan.

Dalam perjalanan keduanya sangat bergembira. Obrolan terus mengalir dengan begitu saja.

Nostalgia kisah lama mereka menjadi topik favorit yang tidak ada habisnya.

Mereka telah sampai pada suatu kedai mi ayam langganan mereka saat masih ada di bangku kuliah. Kedai tersebut sederhana, bahkan tak memiliki lahan parkir. Sehingga Andre harus memarkirkan mobilnya pada parkiran Telkom corner yang ada di seberang jalan.

Andre dan Andrea duduk pada salah satu meja kosong pada kedai tersebut. Andre telah memesan menu favorit mereka, mie ayam ceker untuk Andrea dan mie ayam telur puyuh untuk Andre juga dua gelas es teh manis. Persis sama seperti yang selalu mereka pesan sejak dulu.

Mata Andrea melihat sekeliling kedai tersebut. Ia menyadari kedai tersebut tidak banyak berubah. Mungkin hanya ada meja kursi baru dan juga tembok yang dicat kembali.

Pedagangnya pun masih sama, hanya saja Bapak tersebut kini sudah memiliki uban tidak seperti dulu.

"Tempat ini nggak banyak berubah, ya?" ujar Andre.

"Iya, warna cat temboknya aja yang ganti," jawab Andrea.

"Dulu kamu kalau ngambek, ngebujuknya gampang. Tinggal janjiin habis kelas makan mi ayam ceker hehehe."

"Ihh, dasar Andre julid. Kamu juga dulu sumpek dikit mi ayam, tugas banyak mi ayam, mau ujian mi ayam, apapun masalahnya mi ayam solusinya hehehe."

"Hehehehe, habisnya dulu yang enak dan pas di kantong anak rantau ya mi ayam bapak ini."

"Bener banget hehehe. Kita bahkan pernah makan di sini, tapi bawa minum dari kosan hehehe."

"Mas Andre, Mbak Andrea."

Pak Wawan, pemilik kedai mi ayam itu menyapa Andre dan Andrea sembari membawakan pesanan mereka.

"Apa kabar, Mas, Mbak? Udah lama nggak ketemu," ujar Pak Wawan kembali.

SEKAT [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang