22. Pada Suatu Rakaat

351 37 11
                                    

Sinar matahari masuk melalui sela-sela gorden kamar Andrea. Mencoba untuk menyelinap masuk kedalam manik cokelat Andrea. Sayangnya sinaran tersebut gagal melancarkan aksinya. Sang empu manik cokelat itu masih senantiasa terjaga. Lebih tepatnya enggan melepas kesadarannya.

Andrea berdiam diri di atas ranjangnya. Matanya sayu, menatap kosong pada televisi kamarnya yang hanya menyala tanpa mengeluarkan suara. Jangan menanyakan apa yang sedang Andrea lihat, bahkan dirinya sendiri tidak sadar dengan apa yang ia pandang di hadapannya.

Kantung mata tercetak begitu jelas menghiasi wajah cantiknya. Bagaimana bisa netra cantiknya itu seolah-oleh mereka ulang gambaran rakun dengan kantung matanya.

Pikiran Andrea kosong. Ia tak dapat memikirkan hal lain selain bagaimana cara ia harus menghadapi orang-orang di sekitarnya. Sejak semalam, setelah Arbi berpamitan, Andrea mengunci diri di kamarnya. Melancarkan aksi mogok bicara pada semua orang di rumahnya.

Andrea masih menerka-nerka, bagaimana bisa Arbi dengan mudah melamarnya? Mereka mungkin baru dua bulan berkenalan.

Arbi pasti gila, batin Andrea.

Setedik kemudian Andrea mengingat-ingat lagi memori tentang bagaimana Ibunya terlihat begitu antusias perihal semua tentang Arbi.

"Nah, kan. Udah ganteng, mapan, baik sama keluarga kita. Ibu suka sama Nak Arbi. Kalau kamu gimana, Nduk?"

Andrea mengingat kepingan adegan bagaimana Arbi menolong telapak kaki surganya itu. Tetapi ini semua bukan hanya tentang balas budi. Ini tentang hati Andrea. Hati Andrea yang masih bertaut pada sosok Andre dengan segala sekat yang menghadang keduanya.

Kepala cantik Andrea mencoba mengalihkan semua fokusnya. Namun gagal. Kini berganti tentang bayangan wajah Sang Ayah yang entah mengapa kemarin malam begitu tenang di mata Andrea.

"Nduk," Panggil Ayah Andrea.

"Nggak ada yang memaksamu. Kamu bebas memberikan jawaban," ujar Ayah Andrea.

Tidak ada kepanikan, tidak ada rasa enggan atau tidak rela. Ayahnya menyiratkan harapan juga pada gelagatnya.

Air mata Andrea menetes kembali. Entah sudah bulir keberapa kristal bening tersebut luruh dari netranya. Andrea menjambak rambut hitam legamnya sekali lagi. Ia frustrasi, bagaimana semua orang seolah-olah mempermainkannya.

Sakit. Begitu sakit rasanya sampai bernapas begitu menyesakkan bagi Andrea.

Semua orang memang tidak terus terang memaksanya untuk menikahi Arbi, tetapi batinnya merasa terpojokkan. Hatinya merasa di tuntut untuk menerima Arbi dan mengubur dalam-dalam cintanya pada sosok Andre.

Andrea berdiri kemudian berjalan menuju jendela kamar yang langsung mengarah pada taman kecil di belakang rumahnya. Ia menbuka jendela tersebut, berharap dapat merasakan kesejukan udara pagi memenuhi paru-parunya yang sesak.

Sesak.

Menyakitkan.

Bahkan terpaan udara pagi tidak membuat Andrea merasakan kelegaan tersendiri. Otaknya masih penuh. Benar-benar penuh sampai tak ada ruang untuk berpikir bahwa udara pagi begitu menyejukkan.

"Ndrea, mungkin kamu sekarang udah nganggep aku tukang ikut campur. Atau mungkin kamu nggak suka aku ngasih pendapat tentang masalahmu. Mungkin kamu bakalan marah dan benci sama aku. Tapi aku bakal tetap ikut campur dengan cara aku. Aku yakin suatu saat kamu bakal berterima kasih sama aku. Demi Allah, aku cuma mau kamu bahagia. Bahagia sebenarnya, bukan semu kebahagiaan dengan Andre."

"Andrea, tidak ada yang benar-benar terlambat untuk diperbaiki. Mungkin tidak dalam waktu dekat, tapi nanti ketika kamu sudah siap mengikhlaskan. Aku nggak bakal banyak ganggu perihal bagaimana caramu menyelesaikannya. Tapi jika kamu benar-benar salah memilih jalan nantinya. Aku orang pertama yang bakal nyegah kamu. Dunia ini realita, dan untuk menjalaninya kamu perlu realistis."

SEKAT [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang