15. Namanya Arbi

361 38 14
                                    

Tepat setelah delapan hari harus menjalani rawat inap di rumah sakit, Ibu Andrea telah diperkenankan untuk pulang dan menjalani rawat jalan.

Setelah melewati beberapa pemeriksaan, kondisi organ pencernaan milik Ibu Andrea menunjukkan hasil yang tidak terlalu bagus. Fakta mengejutkan bagi keluarga Andrea adalah peradangan usus yang kembali di alami oleh Sang Ibu.

Selama delapan hari pula, dinding es di antara Andrea dan Sang Ibu mulai mencair. Andrea setiap hari dengan telaten mengurus Sang Ibu setelah selesai dengan kesibukan kerjanya. Namun, bukan berarti Ibu Andrea mulai luluh dan setuju tentang hubungan yang dipilih oleh Putrinya. Ia tetap kekeh menentangnya.

"Nduk, kamu udah yakin nggak ada barang-barang yang ketinggalan?" tanya Sang Ibu.

"Insyaallah udah semua kok, Bu."

Andrea memandang kembali Sang Ibu yang menurutnya kehilangan banyak berat badannya. Kulitnya memancarkan semburat pucat yang belum juga menghilang. Terbesit rasa bersalah yang sekian kalinya selalu ia sesali. Andrea mendekati sang Ibu dan mulai menggengam tangan manusia yang menjadi surganya itu.

"Bu, sekali lagi Andrea minta maaf. Andrea tahu, karena Andrea Ibu jadi kepikiran dan tambah sakit."

Ibu Andrea sedikit tertegun mendengar penuturan Sang Putri. Bukan hanya sekali ini saja ia meminta maaf kepada dirinya. Berkali-kali Ibu Andrea mendengarkan putrinya meminta maaf kepadanya. Bahkan rasanya hampir setiap malam ia mendengarkan rintihan Putri semata wayangnya itu merapalkan beribu permintaan maaf kepadanya yang telah tertidur.

"Nduk, kamu anak Ibu satu-satunya. Ibu bukan mau ikut campur perihal kisah percintaanmu, atau tidak mendukung kebahagiaanmu. Justru karena Ibu pengen kamu bahagia, Ibu akan selalu menentang hubunganmu dengan Andre. Kalian akan selalu berbeda, dan dalam agama kita, ketika perempuan menikahi seseorang yang bukan seorang muslim, haram hukumnya, Nduk. pernikahan kalian nantinya tidak akan sah. Ibu nggak mau, kamu semakin sulit melepasnya."

Andrea benar-benar ingin menangis mendengarnya. Nasihat Ibunya terdengar sangat tulus di telinganya. Tatapan Ibunya begitu penuh dengan rasa sayang. Namun hatinya mencintai Andre, hatinya memilih Andre untuk ia cintai.

Melihat Sang Putri mulai berlinangan air mata, Ibu Andre mulai mengelus lembut puncak kepala Putrinya.

"Nduk, kamu sudah dewasa. Pacar bukan lagi hanya sekedar orang yang membuat kamu semangat kuliah seperti dulu. Tapi seseorang yang nantinya akan menikahimu. Sesorang yang nantinya akan membangun rumah tangga bersamamu. Menikah bukan hanya tentang hubungan manusia dengan manusia, tapi sepasang manusia dengan Tuhan. Kamu mengerti kan maksud Ibu?" ujar Ibu Andrea kembali.

Andrea tak mampu mengeluarkan suaranya. Rasanya begitu menyesakkan, bahkan untuk mengeluarkan satu kata dari mulutnya. Ia hanya dapat memberikan anggukan kepada Sang Ibunda.

"Demi Ibu, Ayah, juga masa depanmu. Janji sama Ibu, kamu bakal putus sama Andre."

"Tap, Bu An—"

"Nduk, ayahmu sebenarnya juga ingin mengatakan hal yang sama dengan Ibu. Tapi ayah tidak tega melihatmu akhir-akhir ini."

"Kasih Andrea waktu, Bu. Andrea janji."

Sang Ibu tersenyum mendengarnya. Tangan lemasnya mulai merengkuh tubuh Putri kesayangannya itu.

"Kamu bisa. Ibu bakal bantuin kamu."

"Nggak perl—"

"Kamu harus percaya sama Ibu."

Sakit. Sakit sekali rasanya bagi Andrea harus membuat janji seperti itu kepada Ibunya. Janji yang belum tentu mampu ia lakukan.

Ya Allah, Andrea hanya ingin semua orang yang Andrea cintai bahagia.

SEKAT [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang