Kamar Andrea sekarang sudah selayaknya kapal pecah. Ia telah berhasil mengobrak-abrik seisi kamarnya. Hati dan manik cokelatnya begitu was-was memperhatikan tiap detail barang yang menghuni kamarnya.
Andrea murka. Sedari tadi ia telah gagal mendapatkan apa yang ia mau. Tubuhnya duduk pada salah satu sudut yang ada di kamarnya. Jemari Andrea terangkat memijit keningnya yang pusing melihat kondisi kamar yang ia berantakan dengan tangannya sendiri.
Memori di kepala cantiknya mencoba untuk mengingat-ingat kembali apa hal yang ia lupakan sampai harus mengalami kondisi seperti ini.
Astaga, masa iya beneran hilang? Tahu gitu aku jual aja dari pada hilang gini.
Andrea ingin menghilang saja rasanya. Bagaimana bisa ia menghilangkan benda yang sangat berharga itu. Tanganya sedikit memukul-mukul kecil kepalanya. Seolah-olah mencoba menstimulus otaknya untuk menemukan kepingan-kepingan ingatan yang menghilang begitu saja.
Dirinya terjerembab pada kubangan ingatan kala dirinya tertelan dan kalah dengan berbagai emosi yang menyelimutinya beberapa waktu yang lalu. Sayangnya, tetap saja ia tak berhasil mendapatkan kepingan puzzle ingatan yang sedari tadi ia cari-cari.
"Astagfirallah, Nduk. Udah gede juga berantakin kamar sampai kayak gini."
Dari bibir pintu kamar Andrea, Sang Ibunda datang dan terheran-heran dengan apa yang terjadi pada kondisi kamar Putri semata wayangnya itu.
Andrea tersadar dari lamunannya. Dengan perasaan tidak bersalah ia hanya mengeluarkan cengiran khasnya untuk membalas omelan dari Sang Ibunda.
Kondisi keluarga Andrea sekarang sudah benar-benar menghangat. Walaupun tidak semua keputusan Andrea telah ia bicarakan dengan keluarganya. Setidaknya saat ini rumah bukan lagi imitasi neraka baginya.
"Ibu nggak mau tahu sekarang kamu beresin dulu ini kamarmu. Haduh-haduh, perawan opo to, Nduk, kamu ini? Masa kamarmu bisa kayak habis kena gempa bumi gini."
"Hehehe, ituloh, Bu. Andrea lagi cari sesuatu belum ketemu. Iya deh, habis ini janji Andrea beresin."
"Emang kamu lagi cari apa? Kali aja Ibu tahu dimana."
Andrea sedikit membisu mendengar pertanyaan dari Sang Ibunda. Terbesit rasa ingin bercerita tapi juga ketakutan akan semuanya kembali memanas.
Andrea sudah cukup bahagia dengan keadaanya saat ini. Ia tidak mau lagi kehilangan momen-momen berharga dengan keluarganya kembali.
"Eh..Emm...Nggak penting, kok, Bu. Nanti Andrea bisa beli lagi kok hehehe." Andrea mencoba membohongi Ibunya sekali lagi.
Bagi Andrea kebohongannya ini hanya semata white lies. Bukan suatu hal yang buruk untuk dia lakukan, setidaknya ia dapat mempertahankan kondisi kondusif yang telah berhasil tercipta setelah sekian lama.
"Ya sudah kalau gitu. Oh iya, habis ini ke ruang keluarga ya. Ibu kemarin waktu acara PKK diajarin buat bikin fudge brownies. Tadi Ibu baru nyobain bikin lagi. Kamu cobain ya habis ini. Jangan lama-lama beresin kamarnya mumpung masih anget-anget brownies-nya."
"Siap, Bu Bos."
Andrea kemudian mengacungkan jempolnya pada Sang Ibu. Menandakan bahwa ia telah setuju dengan tawaran Ibunya. Sedetik kemudian Ibu Andrea meninggalkan bilik kamar Putrinya tersebut. Membiarkan Andrea kembali sibuk untuk menata ulang barang-brang yang telah ia berantakan sebelumnya.
Tidak memerlukan waktu lama Andrea telah berhasil menata kembali barang-barang penghuni kamarnya itu. Tidak terlalu rapi sebenarnya, tetapi setidaknya cukup enak untuk dipandang daripada kondisi kapal pecah sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEKAT [Tamat]
أدب نسائيJika kamu diminta untuk memilih antara Tuhan atau cinta pertamamu, apa yang akan kamu pilih? Jika kamu diminta untuk memilih antara cinta atau karirmu, apa yang akan kamu pilih? Jika kamu diminta untuk memilih antara karir atau keluargamu, apa ya...