Cokelat Belgia

4.2K 521 44
                                    

Sehari sebelum acara turnamen di Bandung, Abrar mengajakku untuk pergi ke Mall Kota Kasablanka. Katanya dia ingin membeli jaket untuk acara besok sehingga dia memintaku untuk menemaninya.

Kebetulan aku lagi senggang dan aku langsung menerima ajakannya. Hangout berdua sama teman kapan lagi. Pergi sama Pak Kastara terus bosan, sekali-kali pergi berdua Abrar. Penasaran rasanya bagaimana.

Seperti biasa, Abrar menjemputku dengan mobil hitam kesayangannya. Dengan langkah cepat dan terlihat begitu bersemangat aku langsung masuk ke dalam mobil itu.

"Selamat pagi, Gia!" sapanya dengan begitu ramah. Kami saling bertatapan lalu melempar senyum. Tiba-tiba dia mengeluarkan sebungkus cokelat lalu memberikannya kepadaku, "oleh-oleh kemarin gue dari Belgia."

"Cokelat rendah kalori?"

"Hah?" dia tampak terkejut dengan pertanyaanku, "enggak. Cokelat biasa aja." Sebelum aku mengambilnya aku terdiam beberapa saat. Dulu Pak Kastara pernah memberikanku cokelat, tapi katanya itu cokelat rendah kalori.

Aku jadi ragu ingin mengambil cokelat pemberian Abrar atau tidak. Takut Pak Kastara marah kalau dia tahu aku makan cokelat ini. "Mau nggak, Gi?" tanyanya.

Aku masih terdiam dengan kepala yang terus berpikir. Kenapa hanya perihal cokelat aku bisa sampai berpikir sepanjang ini. Padahal kan enggak ada Pak Kastara di sini, sehingga dia tidak akan tahu dan pastinya juga tidak akan marah. Jadinya ya mungkin aman-aman aja.

Aku mengambil cokelat itu dengan perlahan. "Makasih ya," aku menyentuh ujung pembukanya, "boleh di mana sekarang nggak?"

Mumpung enggak ada Pak Kastara.

Abrar mengangguk. "Silahkan," dia menoleh ke arah depan, "kita sambil jalan aja ya, Gi?" Aku mengangguk lalu dia menjalankan mobilnya menuju ke sebuah mal.

Aku mengambil sepotong cokelat itu lalu memasukan ke dalam mulutku. Aku lupa sudah berapa bulan aku enggak makan cokelat batangan, sampai-sampai aku lupa rasanya. Cokelat yang pernah diberikan Pak Kastara tempo lalu rasanya tidak seenak ini. 

"Enak banget," ucapku lalu menyodorkan cokelat itu mendekati Abrar, "cobain dong, Bar. Ini enak banget."

Dia terkekeh pelan. "Iya, cokelat belgia emang enak, Gi. Gue udah cobain kok di rumah, masih banyak persediaannya," ucapnya menolak.

Aku mengangguk-angguk lalu kembali memasukan lagi sepotong cokelat itu. "Cokelat Belgia ini cuma dijual di Belgia? Di Indonesia ada nggak, Bar?" tanyaku penasaran.

"Emangnya kenapa? Lo mau lagi? Besok gue bawain sekardus."

Aku buru-buru menggeleng. Bisa gawat sih kalau aku makan ketagihan sampai-sampai sekardus aku habiskan. Nyari mati itu mah kalau Pak Kastara sampai tahu.

"Enggak, Bar. Nanya doang," aku terkekeh pelan, "lagian kalau makan cokelat banyak-banyak gue takut gemuk."

Dia melirik ke arahku. "Emangnya kenapa kalau gemuk?" tanyanya yang sontak membuat aku teringat Pak Kastara.

"Mungkin jadi jelek. Perempuan kan harus sempurna fisiknya," ucapku sambil tersenyum getir.

Saat lampu merah, Abrar memberhentikan mobilnya lalu mengecilkan volume speaker. "Kata siapa?" tanyanya.

"Kata sebagian besar cowok," ucapku cepat.

"Gue enggak begitu, Gi. Gue melihat perempuan bukan dari fisiknya. Mau secantik apapun perempuan semakin tua ya semakin menurun cantiknya. Kecantikan itu enggak abadi."

Aku tertegun. Berbeda sekali dengan Pak Kastara.

"Tapi kalau gemuk, jelek. Malu kalau diajak jalan bareng temen-temennya," ucapku berusaha menyanggah ucapannya.

Abrar menggeleng-geleng. "Enggak, Gi. Enggak semua cowok begitu. Enggak semua cowok pandang fisik," dia kembali menjalankannya mobilnya, "kalau suatu saat nanti lo ketemu cowok yang begitu. Ketemu cowok yang memandang lo dari fisik dan menuntut kecantikan, berarti lo bertemu dengan cowok yang salah."

Bertemu dengan cowok yang salah?

Aku jadi semakin bingung.

Bersambung

Mr. Controller and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang