Sudah seminggu aku menjalani kegiatan untuk mengurangi berat badanku. Dimulai dari mengurangi porsi makan, mengganti menu makanan sampai berolahraga dua kali sehari.
Susah dan berat banget rasanya. Asli. Namun, aku harus tetap berkomitmen dengan ini. Aku harus cantik, meskipun harus diawali dengan bersakit-sakit dulu.
"Gita," ucap Pak Kastara saat aku memberikannya segelas cokelat panas, minuman kesukaannya, "kamu suka main panas-panasan ya?" tanyanya.
Aku terdiam. Pertanyaannya aneh banget. Dikira aku anak kecil apa ya suka main panas-panasan. Lagian, kalau siang hari kan aku kerja dan baru pulang saat malam hari. Ya, enggak mungkin juga bisa main panas-panasan sih.
"Enggak, Pak," aku duduk di hadapannya, "emangnya kenapa?"
Pak Kastara langsung menarik tanganku dengan pelan lalu dia mengamatinya dengan serius. "Kulit kamu, lebih menggelap," ucapnya dengan enteng.
Aku tercengang. Bisa-bisanya dia bilang kulit aku lebih hitam. Padahal ini warna kulit aku seperti biasa. Ya, emang enggak putih-putih banget dan enggak hitam pekat juga.
"Masa sih, Pak?" tanyaku basa-basi.
Pak Kastara mengangguk mantap. Dia mengelus tanganku lalu kedua matanya beralih menatapku. "Iya, benar. Kulit kamu enggak putih. Kalau lebih putih, pasti kamu lebih cantik."
Mohon maaf nih. Aku aja lagi berusaha untuk memperlangsing tubuhku dan hasilnya belum tampak. Dengan kata-katanya seperti ini aku jadi kepikiran tentang masalah kulit.
"Begitu ya, Pak?"
"Iya," dia mengecek jadwal meeting-nya esok hari lalu kembali menutup buku itu, "besok jadwal saya renggang. Besok kamu ke klinik kecantikan ya. Saya urus semuanya."
Kedua keningku mendadak mengerut. Dia mau aku perawatan agar kulitku lebih putih? Wih, asyik ini mah. Aku jadi enggak perlu cape-cape luluran. Tinggal datang ke klinik dan semuanya beres.
"Besok, Pak?"
Dia mengangguk lalu menggeser duduknya lebih dekat denganku. "Saya temani sehabis meeting dengan perusahaan Pak Hamzah."
Aku tersenyum lalu mengangguk. "Mau, Pak. Besok ya."
"Iya," dia tersenyum lalu mengelus rambutku, "udah turun berapa?" tanyanya lagi.
"Apanya yang turun?" tanyaku yang meminta penjelasan detail dari pertanyaannya.
"Berat badan kamu."
"Oh," aku mengingat-ingat berat badanku sebelum diet dan juga hasil timbanganku tadi pagi, "belum banyak, Pak. Baru satu kilo lebih."
"Berapa tinggi badan kamu?"
Dia mengambil pulpen dan kertas bersiap-siap untuk menulis sesuatu di sana. "Hmm, 162 sentimeter Pak," jawabku. Dia langsung mencoret-coret sesuatu di kertas itu.
"Idealnya berat badan kamu antara 56 sampai 62 kilogram," ucapnya setelah selesai mencoret-coret.
Ternyata dia menghitung tinggi badanku menggunakan rumus untuk mengetahui berat badan ideal. Dia lebih tahu tentang hal ini dibandingkan denganku. Ya, maklum sih, mantannya kan selebgram dengan tubuh yang terpahat dengan sempurna. Sedikit banyaknya Pak Kastara tentunya tahu tentang hal ini.
"Sekarang berat badan kamu berapa?" tanyanya lagi.
"70 kilogram, Pak."
"Jauh juga ya dari berat badan idelmu." Aku meringis mendengarnya. Rasa insecure-ku kembali menyeruak.
"Harus lebih baik lagi ya dietnya," aku mengangguk kecil, "mau saya belikan obat diet?" tanyanya yang sepertinya lebih semangat dariku.
Seharusnya aku senang kalau pacarku mendukung penuh keinginanku, tetapi kenapa sekarang aku malah merasakan hal yang sebaliknya.
Seolah ketidaksempurnaanku divalidasi olehnya.
"Enggak usah, Pak. Aku udah beli susu pelangsing yang di-endorse sama Raina."
Pak Kastara mengangguk-angguk. "Bagus itu. Kamu ikuti dan contoh produk-produk yang dipakai Raina saja ya. Terbukti khasiatnya."
Aku tersenyum kecut. Kenapa jadi nyesek gini sih.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Controller and Me
Romance"Pak Kastara, aku kira Bapak cuma mengontrol urusan kantor doang, tapi ternyata setelah kita memiliki yang hubungan serius. Bapak juga mengontrol kehidupan aku." "Saya seperti ini, demi kebaikan kamu."