"Strategi apa-apaan ini," ucap Pak Kastara setelah dia membaca hardcopy strategi marketing yang telah aku buat, "pantas saja produk kita menurun. Ternyata di sini letak kesalahannya."
Aku terdiam sambil memutar-mutar sendok kecil di dalam cokelat panas yang belum sempat aku minum. "Strateginya kuno. Kita harus adakan strategi pembaharuan agar terjadi lonjakan penjualan yang drastis."
Strategi kuno, bisa-bisanya dia mengatakan strategi marketing-ku kuno. Dia tidak tahu saja, kalau ternyata ayahnya sendirilah yang memilih teknik marketing ini. Aku dan tim hanya memperluas jangkauannnya saja.
"Saya enggak mau tahu, strategi ini harus diganti," ucapnya dengan tegas.
Aku mengedipkan mata beberapa kali. Dia kira mengubah rencana strategi secepat itu. Aku juga perlu rapat dari kepala divisi dan timku yang lainnya.
"Nanti malam, sesudah jam kerja, saya mau rapat dengan divisi pemasaran," perintahnya.
"Maaf, Pak. Kenapa enggak pada jam kerja aja? Maksudnya agar kami tidak lembur."
Bukannya apa-apa, aku benar-benar malas kalau disuruh lembur. Aku orangnya gampang ngantuk kalau malam, takutnya nanti di taksi aku tertidur.
"Kamu enggak mau? Siang ini saya ada meeting hingga malam hari," tanyanya dengan sorot mata tajam.
Aku meneguk ludah. "Mau, Pak, tapi—"
"Enggak perlu ada tapi. Mau atau enggak. Hanya dua itu jawabannya."
Ish, ribet banget.
"Mau, Pak, " jawabku cepat.
Pak Kastara menutup hardcopy yang telah aku bawa lantas memberikannya kembali. "Sebelum pergi minum dulu cokelat panasnya," ucapnya mengingatnya.
Eh, iya. Cokelat panas. Aku sampai lupa.
Pak Kastara lebih dahulu menyeruput cokelat panas buatanku. Dia tidak memberikan komentar apa-apa, padahal aku menunggu. Saat isinya sudah benar-benar habis, barulah pria itu meletakan kembali gelas ke atas mejanya.
Mata pria itu menatap ke arah cokelat panasku yang sama sekali belum aku sentuh. "Punya kamu buat saya aja ya?" pintanya dengan gamblang. Aku terdiam seketika, "saya lagi suka cokelat panas. Satu gelas ternyata kurang, saya mau tambah lagi."
Aku langsung menggeser gelasku mendekatinya. "Buat Bapak aja. Saya bisa buat lagi nanti."
Pak Kastara meminum kembali gelas kedua sampai benar-benar ludes. Ini Pak Direktur haus apa ya, minum kok sampai segitunya. "Nanti malam, tolong sediakan cokelat panas lagi saat kita meeting."
"Berapa gelas, Pak?"
"Dua, tapi yang satunya pura-pura buat kamu. Nanti setelah gelas saya sudah kosong baru saya tukar."
Aku mengedipkan mata beberapa kali. Masih enggak nyangka aja bisa dipimpin oleh direktur utama luar biasa begini. Berwibawa ya berwibawa, tapi tingkah dan perintahnya itu yang kadang tidak masuk akal.
"Mengerti tidak, Gia?" tanyanya lagi.
"Iya, Pak. Paham."
"Ya sudah, kamu boleh keluar."
Setelah cokelat panasnya habis aku disuruh keluar. Bilang aja dia ingin aku temani minum cokelat panas. Aku pikir kita bisa nyokelat bersama, ternyata aku hanya menemani sambil ngeliatin doang.
Miris.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Controller and Me
Romance"Pak Kastara, aku kira Bapak cuma mengontrol urusan kantor doang, tapi ternyata setelah kita memiliki yang hubungan serius. Bapak juga mengontrol kehidupan aku." "Saya seperti ini, demi kebaikan kamu."