Malam harinya saat aku ingin pulang ke rumah, tiba-tiba hujan turun deras. Mau tidak mau aku harus menunggu sampai hujan itu berhenti atau paling tidak sampai sedikit reda.
Aku memasukan ponselku ke dalam tas lantas kembali menatap rintik-rintik hujan di depan sana. Lobby kantor ini sudah sepi, maklum saat ini sudah lewat dua jam dari jadwal pulang.
"Gia," aku menoleh ke sumber arah dan menemukan Mira berjalan mendekatiku, "ditunggu Pak Kastara di depan parkiran," lanjutnya.
Aku mengerutkan kening. Kayanya aku enggak ada urusan apa-apa lagi. Tadi berkas juga sudah aku kirim dan dia juga sudah baca, tapi kenapa aku malah dipanggil. Apalagi ini kan sudah jam pulang kantor, masa iya harus lembur.
"Cepetan, Gi. Kasihan dia nungguin," ucap Mira lagi.
Aku mengambil tas lalu bersiap untuk berdiri. "Ada urusan apa sih dia, Mir?" Mira menggeleng pelan.
"Yang ada, gue yang nanya. Lo ada urusan apa sama Bos baru itu," dia mendekat ke arahku, "lo kelihatan dekat banget, Gi. Anak-anak pada ngomongin lo," ucapnya yang cukup membuat kedua mataku membulat sempurna.
Ada urusan apaan?
Urusan kantor doang, enggak lebih. Anak-anak sensitif banget, aku aja ngerasa biasa-biasa aja sama Pak Kastara, tapi kenapa aku bisa jadi bahan omongan.
"Udah, Gia. Cepat sana."
Aku mengangguk. "Gua duluan ya, Mir. Makasih," ucapku setelah itu berjalan dengan cepat menuju parkiran.
Dari kejauhan aku lihat pria itu mendekap keduab tangannya di dada. Dia menatapku yang kian lama kian mendekat. "Kenapa, Pak?" tanyaku saat berada tepat di hadapannya.
"Rumah kamu di mana?" tanyanya.
"Rumah?" tanyaku, dia mengangguk pelan menjawabnya.
"Rumah kamu."
"Di Sinarnirga, Pak. Lumayan jauh. Kenapa?"
Dia mengeratkan jas hitamnya lalu berjalan lebih dahulu meninggalkanku. "Ayo," ucapnya aku mengerutkan kening, enggak paham dengan ucapannya, "ayo saya antar. Mau berapa lama kamu nunggu hujan? Udah hampir dua jam. Hari udah semakin malam."
"Enggak mau, Pak. Takut merepotkan."
"Enggak. Enggak merepotkan."
"T-tapi Pak sa-" ucapku terputus saat dia melangkah lebih cepat.
Aku melirik ke segala arah dan begitu merasa tidak ada yang melihat, barulah aku berjalan dengan cepat menyusulnya. "Masuk, Gi," ucapnya saat pintu mobil bagian tengah terbuka.
Aku masuk lebih dahulu masuk kemudian dia mengikutinya dari belakang. Kami sama-sama berada di bagian tengah, sedangkan di depan sana ada supir yang mengendarai mobil ini.
Aku mengamati bagian dalam mobil ini. Mewah banget. Mobil direktur utama ternyata begini ya. Mobilnya luas dan juga kursinya empuk. Pertama kalinya aku naik mobil begini.
Setelah puas mengamati, aku melirik sekilas menatap Pak Kastara di sebelahku. "Pak," dia menjauhkan ponselnya lalu membalas tatapanku, "kalau ada karyawan lain yang terjebak hujan. Bapak akan mengantar ke rumahnya juga?" tanyaku penasaran.
Dia terdiam cukup lama sampai akhirnya berdeham singkat. "Tergantung siapa orangnya."
"Kalau perempuan."
"Ya, tergantung siapa orangnya," ulangnya.
Oh, berarti hanya orang-orang terpilih ya.
Berarti aku salah satunya.
Tiba-tiba aku tersenyum tipis.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Controller and Me
Romance"Pak Kastara, aku kira Bapak cuma mengontrol urusan kantor doang, tapi ternyata setelah kita memiliki yang hubungan serius. Bapak juga mengontrol kehidupan aku." "Saya seperti ini, demi kebaikan kamu."