Semalam aku menatap pantulan diriku di cermin. Tubuhku agak berlemak, seharusnya aku bisa lebih kurus lagi daripada ini. Kalau ingin kurus ya harus diet. Harus lebih memikirkan menu dan banyaknya makanan yang aku konsumsi.
Untuk itu, pagi ini aku hanya memakan sebutir telur dan ditemani dengan segelas air putih. Biasanya kalau sarapan aku makan bubur atau roti, tetapi karena aku ingin diet jadinya telur rebus rasanya sudah cukup.
Sesudah itu, dengan hati yang riang aku bergegas untuk pergi ke kantor. "Turun di sini aja, Pak," ucapku pada supir taksi. Dia memberhentikan mobilnya lalu aku memberikan selembar uang berwarna biru ke pria paruh baya itu, "kembaliannya ambil aja, Pak," ucapku sambil membuka pintu.
"Makasih, Neng."
Aku bergegas masuk ke dalam gedung kantor lalu mulai mengerjakan pekerjaanku hari ini. Dimulai dari menyiapkan rapat Pak Kastara dilanjutkan dengan menyusun kembali agenda Pak Kastara minggu depan lalu yang terakhir menata dokumen-dokumen penting ini.
Sedang asyik-asyiknya mengerjakan pekerjaanku tiba-tiba perutku keroncongan. Terasa lapar karena mungkin tadi aku makan hanya sedikit, meskipun begitu aku tetap menahan rasa lapar ini. Perutku hanya belum terbiasa aja karena itu harus dibiasakan. Lapar-lapar sedikit bisa aku tahan.
Beberapa saat kemudian, yang ditunggu-tunggu akhirnya terdengar. Bel istirahat berbunyi. Aku buru-buru menutup laptopku lalu masuk ke dalam ruangan Pak Kastara.
Baru saja aku masuk, tiba-tiba pria itu langsung menatapku dengan tatapan khawatirnya. "Kamu sakit?" tanyanya. Aku menarik kursi lalu duduk tepat di sampingnya. Dia menempelkan tangannya ke keningku, "enggak panas, tapi kamu kayanya lemas. Kamu baik-baik aja?" tanyanya lagi. Kali ini lebih cemas.
"Aku sehat, Bapak," ucapku sambil tersenyum kecil.
"Tapi wajahnya lemas begitu. Saya jadi khawatir kamu kenapa-kenapa. Kalau enggak enak badan, saya antar pulang aja ya?"
Aku terkekeh kecil lalu menggeleng. "Aku sehat, Bapak. Enggak kenapa-kenapa," jawabku mengulang. Tanganku menujuk perutku, seraya menunjukan kepadanya, "perut aku banyak lemak, Pak. Aku mau diet biar langsing."
Pria itu terdiam dengan kedua kening yang mengerut. Wajahnya belum bisa terbaca sih, tapi aku takut dia marah. "Diet?" aku mengangguk cepat, "biar lebih kurus?" tanyanya yang kembali aku respons dengan anggukan kepala.
Aku tersenyum lebih lebar. "Biar cantik juga," Pak Kastara mengangguk lalu dia mengeluarkan ponselnya, "Bapak, respons dulu. Boleh kan aku diet?" aku belum puas dengan reaksi dia, makanya aku tanya begitu.
"Boleh," dia menyalakan layar ponselnya, "saya pesankan menu diet ya buat kamu?"
Aku mengangguk dengan antusias. Asyik nih kalau pacar sendiri merestui keinginanku jadi enggak perlu ada drama-drama kolosal diantara kami.
Dia menelpon salah satu bawahannya setelah itu barulah dia meletakan kembali ponselnya. "Bapak," aku menggeser kursiku lebih dekat dengannya, "Raina cantik, nggak?"
Wajah ramah Pak Kastara tiba-tiba berubah menjadi datar. "Kenapa tiba-tiba malah jadi bahas dia."
"Enggak, enggak apa-apa. Penasaran aja. Raina cantik nggak?"
Pria itu terdiam beberapa saat sampai akhirnya mengangguk.
"Dari satu sampai sepuluh, menurut Pak Kastara kecantikan dia ada dinomor berapa?" tanyaku berusaha semakin mempersempit jawabannya.
"Kenapa tanya-tanya begitu sih."
"Ih, Bapak. Jawab aja. Aku penasaran. Pilih satu dari sepuluh."
"Sembilan," aku melongo seketika, besar banget ya ternyata, "sembilan koma lima," lanjut pria itu.
Tuh kan benar. Aku aja yang perempuan bilang Raina cantik dan Pak Kastara juga beranggapan demikian. Raina Dwita Sanggarina, mendekati sempurna dan kami berdua mengakui itu.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Controller and Me
Romance"Pak Kastara, aku kira Bapak cuma mengontrol urusan kantor doang, tapi ternyata setelah kita memiliki yang hubungan serius. Bapak juga mengontrol kehidupan aku." "Saya seperti ini, demi kebaikan kamu."