Sebelum keluar dari mobil, Pak Kastara memberikanku jaket. "Pakai dulu. Kamu kayanya gampang kedinginan ya? Saya takut kamu kenapa-kenapa," ucapnya dengan begitu khawatir.
Aku terdiam sambil memakai jaket itu. Salah satu kelemahanku ya itu, gampang sekali merasa kedinginan. Yang menurut orang suhunya biasa saja, tapi bagiku berbeda.
"Udah, Pak. Ayo." Dia mengangguk lalu keluar lebih dahulu dan membukakan pintu untukku.
Pak Kastara dan Pak Doni membawa barang-barang untuk keperluan kami nanti. Dia berjalan lebih dahulu lalu meletakan tas dan koper itu tepat di bawah pohon.
Aku mendekati mereka untuk membantu mempersiapkannya, tetapi Pak Kastara menolak dan menyuruhku untuk duduk saja. Aku menuruti perintahnya dan beberapa saat kemudian, pria itu memanggilku untuk bergabung dengan mereka.
"Nanti malam mau makan apa?" tanyanya tiba-tiba.
Ini masih pagi, tapi dia malah nanya malam makan apa. Kejauhan banget ga sih. "Siang ini makan apa, Pak?"
Pria itu menunjuk ke arah koper yang ternyata berisi makanan. Mulai dari makanan berat sampai makanan ringan. "Pak Doni mau pergi. Nanti dia ke sininya malam. Kamu sekalian mau dibelikan apa?" tanyanya. Oh, rencananya yang tadi.
Aku menatap isi koper itu dengan lebih teliti. Tidak ada jagung di sana. Kalau lagi kemah enaknya bakar-bakaran. Enak kali ya kalau makan jagung bakar.
"Mau jagung bakar, Pak."
"Nanti Pak Doni yang belikan."
"Tapi maunya bakar-bakaran di sini."
Pak Kastara menepuk bahu Pak Doni pelan. "Tolong belikan ya, Pak. Alat dan bahan-bahannya. Nanti saya transfer uangnya."
"Baik, Pak," ucap Pak Doni lalu tidak lama kemudian pria paruh baya itu pergi meninggalkan kami berdua.
Pak Kastara membangun dua tenda di sini, satu tenda untuk dirinya dan Pak Doni, satunya lagi untuk aku. Selain pintar dia juga tahu adab. Dia tahu bahwa meskipun kami sudah resmi berpacaran, tetapi ada batasannya.
"Mau di sini aja atau jalan-jalan?" tanyanya memecahkan keheningan di antara kami.
"Jalan-jalan aja, Pak." Tanpa menjawab, dia langsung berdiri lalu mengandeng tanganku dan kami berjalan entah ke mana tujuannya, yang penting jalan-jalan aja dulu selama ada dia di sisiku, nyasar pun aku juga pasti akan tenang-tenang saja.
Di sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan pasangan-pasangan lainnya. Dulu kalau orang lagi pacaran, aku biasanya cuma ngeliatin doang sambil berharap agar secepatnya aku bisa merasakan jadi mereka.
Setelah penantian panjang aku dipertemukan dengan putra Abian ini dan akhirnya aku bisa merasakan jadi pasangan-pasangan lainnya. Bahagia dengan hidup penuh warna. Enaknya menjalin hubungan asmara dengan seseorang.
"Gia," panggilnya yang membuat aku langsung menatap ke arahnya.
Tangannya bergerak untuk merengkuh pinggangku lebih dekat. "Gia Anggita," panggilnya lagi.
Kali ini aku hanya berdeham saja. "Saya mau panggil kamu Gita. Biar beda dari yang lain."
Kedua keningku mendadak mengerut. Ada-ada aja yang diminta. Pakai ganti nama panggilan begitu. Aku kan enggak biasa dipanggil 'Gita' dari kecil nama panggilanku 'Gia'.
"Emang kenapa harus diganti, Pak?"
"Biar beda aja. Gita panggilan kesayangan dari saya. Boleh kan saya panggil kamu begitu?" tanyanya meminta izin.
Panggilan kesayangan ya. Hmm, kayanya seru juga sih kalau punya panggilan kesayangan begitu. Kapan lagi ada orang yang panggil aku dengan panggilan berbeda.
"Boleh, Pak," ucapku bersemangat.
Dia tersenyum lalu mengusap kepalaku. "Gita. Saya sayang kamu."
Ya, cukup. Aku enggak kuat lagi. Kenapa kalimat pertamanya begitu sih.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Controller and Me
Romance"Pak Kastara, aku kira Bapak cuma mengontrol urusan kantor doang, tapi ternyata setelah kita memiliki yang hubungan serius. Bapak juga mengontrol kehidupan aku." "Saya seperti ini, demi kebaikan kamu."