Aku melangkahkan kakiku dengan malas menuju ruangan Pak Kastara. Dia tadi mengirimkanku pesan singkat agar aku ke ruangannya. Dengan tangan yang memegang berkas final tentang strategi marketing, aku masuk ke dalam ruangan itu.
Sebelum benar-benar masuk ke sana, aku sempat melirik ke arah sekertaris Pak Kastara yang memadangku dengan tajam lalu. "Kalau mau menggoda, tahu waktu kali," ucapnya kecil. Aku hanya terdiam lalu melangkah masuk ke dalam ruangan itu.
"Duduk, Gi," ucap Pak Kastara sambil menepuk sofa di sebelahnya. Aku mengangguk lalu mengikuti perintahnya.
"Ini strategi marketing-nya, Pak. Udah saya buat dengan detail dan kesalahan kemarin sudah saya revisi," ucapku sambil memberikan hardcopy berkas itu.
Pak Kastara menerimanya lalu membaca-baca singkat. Dia mengangguk lalu meletakan berkas itu ke atas pangkuannya. "Iya, bagus. Sudah bagus semua. Terima kasih ya."
Aku mengangguk lagi lalu memundurkan tubuhku agar lebih jauh darinya. "Pak, maaf sebelumnya. Karena tugas ini sudah selesai. Bisa nggak, Pak kalau ada apa-apa yang berhubungan dengan marketing, kedepannya Bapak hubungi aja kepala divisi saya. Jangan langsung ke saya," ucapku sambil menunduk.
Mungkin dengan cara ini aku dan Pak Kastara bisa terlihat lebih berjarak. Aku benar-benar enggak nyaman aja dengan rumor-rumor mengenai kedekatanku dengannya.
"Kamu enggak mau berinteraksi langsung dengan saya?" ucapnya terdengar dingin. Namun, tegas.
Aku meneguk ludah kemudian menggeleng. "Bukan begitu, Pak."
Pak Kastara bangun dari duduknya lalu dia melempar berkas yang tadi aku bawa ke atas mejanya. Aku mengindik ngeri lantas menatapnya dengan takut-takut. "Bapak, saya enggak enak terus melangkahi Mira. Kalau ada apa-apa saya langsung ke Bapak, seharusnya ke Mira dulu," alibiku.
Pak Kastara menarik napasnya panjang lalu kedua tangan dia lipat di dadanya. "Ya sudah. Kamu boleh keluar."
"Permisi, Pak," aku menunduk kecil lalu berbalik dan keluar menuju pintu.
Mungkin memang begini lebih baik. Semoga saja Pak Kastara bisa paham kalau sebenarnya cara kerja kami menyalahi aturan kantor, walaupun dia bosnya, setidaknya dia tidak boleh memerintahkanku melangkahi jabatan-jabatan yang lainnya.
⚡
Beberapa hari setelahnya, hubunganku dengan rekan-rekan kerja lainnya tidak berubah ke arah lebih baik. Para pekerja di sini masih saja menatapku dengan tatapan jijik dan ada juga yang berbisik-bisik menghinaku.
Padahal aku sudah berusaha menjaga jarak dengan Pak Kastara, tetapi aku masih saja dicap sebagai karyawati penggoda yang berskandal dengan bos barunya.
Aku mencoba sabar dan terus profesional dengan pekerjaanku. Saat aku meeting dengan rekan-rekan satu divisiku, mereka seakan berubah. Mereka terlihat tidak menyukaiku. Aku yang sedang berbicara untuk memberi tanggapan dalam diskusi, tetapi tidak mereka dengarkan. Bahkan, Mira selaku kepala divisi dan sekaligus orang yang paling dekat denganku, dia juga seakan menjauhkanku.
Aku semakin enggak nyaman bekerja di kantor ini. Namun, bagaimana lagi aku harus tetap bertahan karena kalau aku keluar, aku mau bekerja di mana, mencari pekerjaan tidak semudah itu.
Aku mengikat rambutku lalu berjalan keluar dari toilet, baru saja aku melangkah keluar, mataku langsung berpapasan dengan sekretaris Pak Kastara yang sekarang aku tahu namanya adalah Monika.
"Kenapa enggak pernah ke ruangan Pak Bos lagi? Udah sadar dan enggak mau kalau enggak dibayar? Makanya dari awal tuh jangan digratisin," ucapnya lembut, tetapi mampu untuk membuat gejolak emosi di dadaku.
"Kalau mau jadi perempuan murahan, ya jangan terlalu murah," lanjutnya.
"Tutup mulut lo!" ucapku kencang. Aku menatapnya dengan tatapan murka. Aku sudah tidak bisa bersabar lagi. Semua perlakuan para pekerja di sini sudah benar-benar menguras kesabaranku.
"Apa? Yang ada lo yang tutup mulut. Perempuan kaya lo, emang seharusnya diam aja," ucapnya tidak kalah kencang.
Orang-orang seketika menoleh ke arah kami berdua. "Lo kan yang nyebar rumor enggak benar itu? Lo yang ngehasut dan jelek-jelekin gue."
Dia menujuk ke arah depan wajahku. "Tanpa dijelek-jelekin nama lo udah jelek," ucapnya lalu meludahi wajahku. Sial. Aku merasa harga diriku diinjak-injak.
Aku menarik rambutnya dengan keras, dia juga membalas menarik rambutku. Orang-orang semakin banyak yang mengerubungi kami. "Dasar lo perempuan penggosip. Lo enggak tahu kebenarannya," ucapku sambil terus menarik rambutnya.
"Monika," ucap seseorang tiba-tiba, "lepas tanganmu dari rambut Gia atau saya tarik kamu keluar?" lanjutnya.
"Bapak. Gia yang narik rambut Monika duluan. Monik enggak salah," ucap seseorang yang aku tahu itu adalah Mira. Temanku sendiri saja tidak membelaku.
"Monika. Dengar saya tidak? Mau saya tarik rambut kamu lalu menyeretmu keluar?" Seketika suasana semakin mencekam. Tarikan dari tangan Monika mengendur dan begitu juga dengan tanganku.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Controller and Me
Romance"Pak Kastara, aku kira Bapak cuma mengontrol urusan kantor doang, tapi ternyata setelah kita memiliki yang hubungan serius. Bapak juga mengontrol kehidupan aku." "Saya seperti ini, demi kebaikan kamu."