Sudah berhari-hari Dirra uring-uringan tak jelas baik di sekolah maupun di rumah, ucapan ayahnya tak pernah lagi ia tanggapi dengan kekonyolannya bahkan sang ibu pun mulai mencurigai tingkahnya.
Hari-harinya kini terasa berkabut bagai tak ada semangat hidup. "hufftt,,,." Dirra kembali menghembuskan napas beratnya lalu beranjak dari ranjang yang selama ini menjadi saksi kegalauan hatinya.
Sepulang sekolah ia tak lagi ikut latihan bela diri maupun kegiatan lainnya, ia akan berdiam diri di dalam kamar sampai waktunya makan malam seperti saat ini sebelum adik kembarnya merecokinya dengan berbagai kata ledekan Dirra sudah duduk manis di kursinya namun terlihat matanya kosong menatap perut besar ibunya yang di bawa mondar-mandir menyiapkan makanan.
Cukup hatinya saja yang hancur, ia tak ingin menghancurkan berbagai barang di dalam kamarnya untuk melampiaskan kekesalannya.
"Sudah lama Ben gak kesini, apa dia baik-baik saja?" Tanya Aisyah dengan nada lembut seraya meletakkan berbagai macam hidangan di meja makan.
Dirra hanya mengangkat bahu dengan wajah malas membahas perihal Ben, cukup di sekolahan saja ia di buat kesal karena Ben acuh tak acuh padanya, bocah itu mulai sibuk dengan dunianya dan ia tak ingin membahas tentangnya di rumah.
"Sayang, kenapa melamun? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu hmm,,?"
Dirra menggeleng lemah lalu menyendokkan nasi kedalam piringnya.
Aisyah melihat aneh putrinya yang beberapa hari ini menjadi pendiam.
"Panggil ayah sama adik-adik dulu sayang." Ucapan Aisyah menghentikan tangan Dirra yang sedang mengambil lauk pauk.
Tanpa kata Dirra meninggalkan meja makan lalu mencari keberadaan ayah serta adik kembarnya.
Dirra membuka pintu kamar orang tuanya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Yah,, makan." Suara lemah Dirra membuat Dirga menjatuhkan baju yang akan di pakainya.
Dirga memicingkan mata melihat putrinya dari atas sampai bawah lalu kembali melihat wajah layu Dirra.
Dirga pun segera mengambil baju yang terjatuh tadi lalu segera memakainya. Saat Dirra hendak berbalik Dirga menghentikannya.
"Kamu sakit?" Tanyanya lalu menghampiri Dirra.
Dirga mengecek suhu tubuh Dirra dengan memegang jidat putri kesayangannya.
"Apa'an sih yah, aku sehat iih,,,," Dirra menyingkirkan tangan ayahnya lalu hendak berbalik namun Dirga memeluk Dirra.
"Kenapa? Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari ayah? Apa ayah punya salah sama kamu,,? Kalau iya, maafkan ayah hmm,, ayah rindu dengan wajah ceria putri kesayangan ayah, ayah rindu celotehan putri ayah, ayah rindu pelukan putri ayah. Jangan sembunyikan apapun dari ayah maupun ibu, kalau kami punya salah lebih baik di omongkan jangan mendiami kami seperti ini, ayah merasa kehilangan putri ayah." Ucapnya, Dirga mengelus punggung Dirra dengan penuh sayang serta menciumi kepala putrinya yang kini memakai hijab warna hitam.
Ucapan Dirga membuat hati Dirra terenyuh, ia merasa bersalah pada kedua orang tuannya.
"Maafkan Dirra yah,,,maaf,,,," Dirra menyembunyikan wajahnya di dada kekar sang ayah.
Dirra tak mungkin menceritakan apa yang di alaminya, cintanya bertepuk sebelah tangan belum berjuang ia sudah tertolak duluan, oh bukan lebih tepatnya salah mencintai seseorang.
Rasa sakit dan malu kini menemaninya namun ketika bayangan Davi yang hanya menatap sang ibu berseliweran di dalam otaknya membuat Dirra menyalahkan dirinya. Apa ini karma? Kenapa harus ia yang menanggung sakitnya? Masa lalu seperti apa yang mereka jalani? Dan bukan hanya itu Ben yang tak acuh juga menambahkan daftar masalah di otaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Dirra
أدب المراهقينSequel Kesabaran Seorang Istri Gadis remaja yang tak tahu tentang artinya cinta, yang ia tahu jika cinta adalah suka dengan seseorang. "Aku cinta sama om, om harus tahu itu!" Ucapnya dengan lantang gadis itu tak peduli dengan tatapan orang yang ad...