Part 24

576 80 39
                                    

Setelah makan malam selesai, Ben di ajak ke kamar si kembar seperti biasa canda gurau terdengar menyenangkan membuat siapa saja ingin ikut bergabung termasuk Dirra namun ego gadis itu terlalu tinggi untuk mengakui.

Dirra berjalan ke arah balkon dan nampaknya langit sedang menangis malam ini, rintikan hujan jatuh tanpa permisi kilatan cahaya petir terlihat dengan jelas di atas sana suara guntur pun mulai menggelegar seperti hatinya yang terus bergemuruh ingin memuntahkan semua isinya.

Suasana cukup mencekam namun gadis itu enggan beranjak dari tempat duduknya Dirra seperti terhibur dengan suara guntur yang saling menyapa. Bibirnya terangkat ke atas membentuk sebuah senyuman getir namun terlihat dengan jelas jika matanya kosong menatap kegelapan malam.

"Ehheemmm,,,," Dehaman seseorang sama sekali tak terdengar di telinga Dirra, gadis itu masih asik dengan dunia hayalnya.

Ben menarik kursi agar tidak terlalu dekat dengan Dirra lalu di dudukinya.
Ben menatap Dirra dan mengikuti pandangan mata gadis itu.

"Apa yang kamu lihat sampai membuatmu tersenyum begitu?" Tanyanya.

Kali ini Dirra terlihat terkejut dengan suara Ben, gadis yang sedari tadi melamun itu menoleh ke arah Ben lalu menatapnya dengan mata bertanya.

"Apa? Lo ngomong apa tadi?"

"Ckk,,," Ben berdecak matanya melirik Dirra namun terlihat jika bocah itu sedang meledeknya.

"Tahu ah lewat,,," Ben hendak beranjak dari duduknya namun suara Dirra kembali terdengar.

"Lo masih marah?" Tanyanya membuat Ben menatap Dirra dengan pandangan bertanya.

"Kejadian di villa itu."

Ben hanya menghembuskan napas beratnya sebelum berkata. Bukan kejadian di villa yang membuatnya menjaga jarak seperti ini tapi lebih tepatnya kejadian di taman dimana matanya menangkap gadisnya di cium om-om tua, hatinya tak terima namun ia sadar dirinya tak mempunyai hak untuk melarangnya. Siapa dirinya? Ia bukan siapa-siapa kan?

Lagian apa yang di lihat dari perjaka tua itu hah, kalau masalah fisik ia juga tak kalah tampan kok yah walaupun pesona Davi berlebihan Ben harus akui itu.

"Aku sudah melupakannya lagian bekas pukulanmu sudah hilang juga." Ucapannya yang di angguki Dirra.

"Terus,,,?"

"Apa?"

"Kenapa Lo menghindari gue?"

"Apa yang kamu harapkan dariku hmm,,,? Bukannya kamu risih karena aku selalu mengikutimu?" Tanyanya dengan pandangan sinis.

Dirra mengangkat bahunya lalu menghembuskan napas matanya masih tertuju ke depan.

"Entahlah,,," Dirra juga bingung dengan dirinya.

"Lo beneran jadian dengan Jessica?" Tanyanya lagi tanpa menatap lawan bicara.

Ben menoleh lalu mengedikkan bahunya, ya ia terpaksa menerima Jessica untuk mengobati hatinya namun sepertinya itu tak berhasil buktinya saja ia kesini karena terkalahkan oleh rasa rindu. Astaga Ben ingin sekali membenturkan kepalanya agar semua tentang Dirra hilang. Ia menyerah dengan sang hati, menjauhi Dirra beberapa hari saja sudah membuatnya gila. Andai saja hati serta otaknya bisa di tukar dengan yang baru ia dengan senang hati melakukannya.

"Kenapa diam?" Dirra menoleh ke arah Ben dan matanya saling menatap namun dengan segera Ben memalingkan pandangannya ke arah depan.

"Ya seperti yang kamu dengar di meja makan tadi." Ucap Ben.

"Selamat deh kalau begitu." Ucap Dirra dengan nada tak ikhlas.

"Semua orang bisa berubah kan? Termasuk hati? Kita berhak bahagia dengan jalan kita masing-masing dan pemikiran masing-masing yang menurut kita benar? Dan aku sedang berusaha mencari kebahagiaan ku sendiri." Ucapnya telak.

Dear DirraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang