Derak-derak sinar jingga mulai merayap-rayap di permukaan tembok pucat. Merah nyalang menyinari garis cakrawala seraya melahap pelan pusat tata surya. Pemandangan luar biasa dari tenggelamnya Sang Bintang Terik terpantul di sepasang netra indah seorang wanita.
Di atas kursi roda, dekat jendela kaca ruang perawatannya, Raline duduk memandang keluar tembok tembus pandang, mengamati lamat-lamat suasana sore hari dari lantai tiga bangunan hijau dan putih tempat orang-orang menyembuhkan diri.
Bola matanya menggelinding ke bawah menatap sepasang kaki putih. Beberapa menit lalu ia memanggil perawat perempuan untuk membantunya latihan berjalan. Ia tidak bisa meminta bantuan Ranu sebab laki-laki itu pasti lebih banyak cemasnya alih-alih membantu.
Tapi itu nampaknya percuma saja, perawat yang dia panggil juga terasa canggung dan sangat was-was. Mungkin dia takut jika terjadi sesuatu pada Raline maka dia yang akan kena semprotnya.
Raline agak kesal sebab kakinya masih saja lemas dan sulit digerakkan. Ia menarik napas dalam. Dengan kedua tangan bertumpu pada kursi roda, Raline mulai menarik dirinya pelan-pelan. Bibir bawah digigitnya kuat seraya menahan beban tubuh. Kini ia setengah berdiri, kedua tangan masih bertumpu erat. Perlahan dia melepas pegangannya tapi.....
Brugh
Ia hampir tersungkur di atas lantai sebelum sebuah tangan besar menangkapnya.
"Apa yang kamu lakukan?!! Bagaimana kalau tadi aku tidak menangkapmu tepat waktu?"
Dari suara dan nada yang terdengar, Raline sudah bisa menebak tangan besar itu milik siapa. Tunggu-bukan-mungkin Raline sudah bisa menebak dari bau parfum maskulin yang menyerbak sesaat sebelum dia terjatuh.
"Berlatih jalan." Sahutnya polos.
Ranu menghela kemudian kembali mendudukan Raline di atas kursi roda. Ia lalu berjongkok menatap lekat-lekat netra indah di depannya.
"Kenapa tidak memanggilku dulu?" tanyanya sambil meremas tangan halus yang terpangku.
"Aku pikir kamu lagi sibuk jadi-"
"Raline..." panggil Ranu lembut sembari menyelipkan surai panjang wanita di atas kursi roda ke belakang telinga. "You're my world. All the things I think and care about."
Raline mengatupkan bibir, tertegun dengan apa yang baru saja gendang telinganya tangkap.
Ditatapannya pria tampan yang berjongkok lekat-lekat. Ia masih terlihat kacau. Rambutnya dibiarkan memanjang tidak terurus, matanya yang sayu serta rambut-rambut halus mulai terlihat di area janggutnya. Hal itu membuat pertanyaan timbul di benak Raline, kapan terakhir kali Ranu mencukur rambut?
"Ranu..." panggilnya lembut "Rambutmu jadi lebih panjang dan berantakan. Apa yang kamu lakukan selama ini? Kenapa kamu tidak merawat dirimu dengan baik?" ujar Raline sembari menyisir-nyisir rambut lelaki di depannya.
Terus terang, Ranu sangat menikmati ini. Sentuhan lembut tangan Raline di rambutnya membuat Ranu mesem-mesem tidak karuan. Aduh, apa jutaaan kupu-kupu tengah beterbangan di perutnya? Kenapa ia seperti melayang-layang?
Puk
Ranu tersentak saat merasa pukulan ringan di kepalanya.
"Bukannya jawab malah senyum-senyum begitu, sudah gila kamu ya?"
Pria itu malah terkekeh pelan, membuat Raline mendelik kesal.
"Oke, kita mulai latihan saja."
Dengan pelan, dia menurunkan satu peratu kaki Raline dari kursi roda.
Raline bergeming memerhatikan Ranu.
"Sebelum berdiri, tarik napas dalam pelan-pelan."
Dada Raline mengembang seiring masuknya oksigen dalam paru.
KAMU SEDANG MEMBACA
If Something Happens I Love You
RomanceRaline Dhara, seorang psikolog, tersesat dalam hutan terlarang karena dikejar oleh pria bertopi fedora. Pertemuannya dengan Ranu, bilioner tampan berdarah dingin dan kejam, membuat Raline bertekad untuk menyembuhkan luka batin Ranu dan membuat laki...