Part 13

7K 561 10
                                    

Tak kusangka,
Kini saatnya,
Ku tekuk lutut ku yang tua,
Memohon meminta,
Kepada dia,
Anak yang aku sia-sia,
Ku abaikan gengsi membara,
Ego yang menolak tunduk,
Merendah di kaki anak muda,
Mengoyak harga diri,
Hanya untuk harta,
Dan tahta semata,

~Abraham~

💔💔💔

💫💫💫

Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, jam makan siang pun sudah berakhir, sedang Arabelle baru menginjakkan kaki di kantor miliknya, ia sengaja berangkat siang, karena dari laporan Ana, Abraham sang ayah, telah menunggunya sejak pukul 7 pagi.

Arabelle sudah menduga bahwa Abraham akan menemuinya hari ini, maka dari itu Arabelle sengaja membuat Abraham menunggu, apalagi Arabelle tau bahwa sang ayah tak suka menunggu.

Pernah sekali Arabelle di suruh menyeduhkan kopi dan mengantarkannya ke ruang kerja sang ayah, namun di saat Arabelle mau mengantar kopi ke ruang kerja ayahnya, Carla memanggilnya untuk mengambilkan tasnya yang tertinggal di sofa ruang tamu.

Setelah menyerahkan tas Carla baru lah Arabelle mengantar secangkir kopi ke ruang kerja sang ayah, namun bukan ucapan terimakasih atau penghargaan yang Arabelle dapat, malah siraman kopi yang mengenai telapak tangannya.

Membuat Arabelle merintih karena tangannya melepuh akibat terkena kopi panas, sang ayah murka hanya karena Arabelle tak kunjung mengantarkan kopi ke ruangannya.

Tak hanya itu banyak kejadian sepele yang tak sengaja Arabelle lakukan, tapi Abraham membuat kesalahan sepele itu seolah kesalahan besar.

Banyak kejadian yang membekas dalam ingatannya, ia ikhlas selama ini di perlakukan tidak adil, namun wajarkan jika kita mengingat perlakuan orang yang kita hargai, entah itu perlakuan buruk atau perlakuan baik.

Setibanya Arabelle di lobi Ana sudah berdiri di depan meja resepsionis untuk menyabut kedatangannya, Ana berjalan bersisian dengan Arabelle dan membacakan jadwal untuknya.

"Nona Ara, tuan Abraham menunggu di ruang tunggu, setelah tadi ia pergi untuk makan siang"

"Hem, persis seperti pengemis, sama saat dulu ia jadikan aku sebagai pengemis di jalanan"

Gumam Arabelle yang hanya bisa di dengar oleh Ana, Ana hanya mengangguk saja, Ana sudah tau apa yang terjadi di masalalu Arabelle, Ana cukup memahaminya, sebab masalalu Ana dan Arabelle tak jauh berbeda.

"Baiklah Ana mari kita temui pengemisnya" Ucap Arabelle sambil tersenyum meremehkan, Arabelle ingin tau seberapa tak tau malunya seorang Abraham Hamzah, mereka melangkahkan kaki ke ruangan tempat Abraham menunggu, setelah sampai keruangan yang di tuju, Arabelle langsung duduk di hadapan Abraham tanpa menyapa.

Pandangannya menyapu penampilan Abraham, Abraham yang melihat kedatangan Arabelle, sekilas memandangnya dan sang ayah pun hanya bisa diam dan menundukkan kepala, sebersit rasa bersalah yang teramat membuatnya malu mengangkat wajahnya.

Rasa rindu pada putrinya pun tak jauh lebih besar dari egonya, namun Abraham tak dapat berbuat apa pun.

"Apa yang membawa anda kemari tuan Abraham" Pertanyaan itu meluncur dari bibir merah muda Arabelle, setelah beberapa saat hening, sedang sesak tiba-tiba menghimpit dada Abraham karena begitu formal dan asingnya sang putri memanggil namanya.

"Ayah ingin meminta bantuan mu, perusahan ayah koleps, terjadi kecurangan dari dalam perusahaan ku, dan aku mohon berikan aku proyek besar untuk menopang perusahaan ku agar bisa bangkit"

Ucap Abraham dengan percaya diri, ia yakin Arabelle mau membantunya karena ia adalah ayahnya, perusahaan Hamzah adalah perusahaan keluarganya, nampaknya Abraham lupa kalau Arabelle telah ia coret dari kartu keluarga.

"Apa yang membuat mu berfikir bahwa aku mau membantu perusahaan mu tuan Abraham" Dengan nada dingin dan keangkuhannya ia menatap tajam mata Abraham.

"Karena kau adalah anggota keluarga Hamza Abel, kau pasti tak akan membiarkan perusahaan Hamzah hancur begitu saja terlebih itu perusahaan turun temurun, perusahaan warisan kakek mu"

Ucap Abraham sedikit geram dengan keangkuhan Arabelle, namun sebisa mungkin ia tak mau tersulut emosi demi perusahaannya yang sedang butuh suntikan dana besar dan hanya Arabelle yang mampu membantunya, karna para kerabat dan kolegannya yang lain tak mau membantunya.

Mendengar nama panggilan yang di sebut oleh Abraham membuatnya geram, panggilan yang sering di gunakan sang ayah ketika bermanja, kini panggilan itu terasa seperti mata pisau yang tak segan menikamnya.

"Tampaknya kau lupa Abraham Hamza" Arabelle menekan setiap katanya pada nama sang ayah.

"Kau lupa kalau aku bukan lagi anggota keluarga Hamzah" Dengan mata berkilat sarat penuh emosi.

"Kau lupa bahwa kau telah membuang ku Abraham"

Seketika Abraham diam, ia lupa akan kejadian pengusiran Arabelle di masalalu, Abraham tak menyangka bahwa sang anak masih mengingatnya, pupus sudah harapannya, hancur pula kepercayaan dirinya.

Abraham diam memutar otaknya, ia tak mau menyerah demi bangkitnya perusahaan Hamzah, karena perusahaan itu merupakan sebagian dari nyawa Abraham.

"Ayah mohon Abel" Dengan menangkup kedua tangannya ia menurunkan gengsi untuk memohon kepada sang anak.

"Kau sebut diri mu ayah? Jangan sekali-kali kau sebut diri mu ayah di hadapan ku, karena kau bukan ayah ku, bagi ku ayah ku sudah mati"

Dengan muka datar Arabelle mengatakan itu seolah memang ayahnya sudah tiada, mendengar itu membuat perih hati Abraham, sebegitu dalamnya ia telah menyakiti putrinya.

Namun Abraham menerimanya karena memang Abraham pantas menerima perlakuan ini, namun Abraham tak patah semangat untuk bernegosiasi agar perusahaan Hamzah tidak hancur.

"Baiklah Abel, tapi aku mohon selamatkan perusahaan turunan kakek mu, kasian para ribuan karyawan yang setia mengabdi di perusahaan, jika perusahaan itu hancur, apapun syaratnya akan aku penuhi" Ucap Abraham frustasi.

Mendengar kata "syarat" yang terucap dari Abraham, senyum licik terukir jelas dari bibir Arabelle, Abraham yang melihatnya pun merinding, ia tak menyangka putrinya bisa berubah sedemikian rupa.

"Kau yakin? " Tanya Arabelle meremehkan.

"Ya apapun syaratnya karena aku tak mau mengecewakan kakek mu Abel"
Ucap sang ayah lirih, mendengar sang kakek selalu di sebut membuat Arabelle merindukan sang kakek yang sudah tiada, kali ini Arabelle akan berbaik hati demi menghargai jerih payah sang kakek dan para karyawan yang setia.

"Baik lah, aku akan mengurus perusahaan Hamzah agar tidak hancur, tapi... " Ucap Arabelle sengaja menggantung kalimatnya, ekspresi berbinar nampak tercetak jelas dari wajah Abraham.

"Aku akan menjadikan perusahaan Hamzah di bawah naungan ku, segera ubah nama perusahaan Hamzah menjadi nama ku, Ana akan menanganinya, dan kamu bisa bekerja di bawah kendali Ana, tak ada negosiasi lagi tuan Abraham"

Lemas sudah tubuh Abraham ia tak tau apa kah ini berkah atau justru karma yang harus Abraham tanggung, lama Abraham merenung untuk mengambil keputusan sulit ini.

"Baiklah Abel, lakukan saja sesuai kemauan mu, yang penting perusahaan selamat" Putus Abraham, pada akhirnya Abraham harus merelakan perusahaannya, Arabelle juga bisa di andalkan, memang seharusnya perusahaan itu milik Arabelle seperti yang sudah tertulis di surat wasiat sang kakek.

Bersambung.....

PEMBALASANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang