Prolog

24.1K 1.3K 52
                                    

" Hati yang hampa akan selalu meminta rasa tapi jika jiwa yang hampa ia akan meminta warna"
.
.
.
Ngerti ga maksudnya? Ngerti ya..ngerti aja deh...:)
.
.
.
.
Hay...apa kabar kalian...aku hadir nih buat nulis cerita ringan dan nggk banyak teorinya.
Disini akan ada beberapa konflik ringan antar tokoh yang mungkin beberapa orang menganggapnya terlalu lebay...
Happy reading friends

🌚🌚🌚

Sreet ...

Satu goresan nampak indah ia pandang, noda merah bercucuran tak di hiraukan. Bersama tubuh yang kian melemah, isakkan ia keraskan. Ia ingin berteriak namun tak akan ada yang mendengar, karena nyatanya semua hanya sibuk menutup telinga daripada membuka mata. Kembali tangan kanan mengambil satu benda yang cantik nan tajam,

sreett ...

“wahh!!” ia memekik kegirangan kala goresan panjang terbentuk indah di kulit tangannya  sampai tak sadar jika noda merah pekat telah menggenang di ubin yang berwarna putih. Lagi-lagi pandangannya mengedar, di pandanginya sudut kamar yang nampak suram ini. Di ujung sana nampak tertata rapi buku-buku tebal yang mungkin sudah lama tak ia baca.

Pandangannya beralih pada etalase bening yang kosong, itu dari sang ayah. Ya, ayahnya yang memberikan tapi bukan untuk dirinya saja  namun juga saudaranya yang lain. Ia masih ingat dengan baik ucapan sang ayah waktu itu. “Ini etalase untuk menaruh piagam atau piala kalian ya.Tingginya hanya 1 meter tapi tenang saja, kalau sudah penuh akan ayah belikan lagi.” Tutur ayahnya waktu itu sambil menunjukkan 5 etalase yang dibawanya.

Umur Abian memang masih 10 tahun kala itu, namun ia tahu dengan pasti apa yang di maksud sang ayah. Lambat laun waktu berlalu dan kini di usia Abian yang menginjak 19 tahun etalase itu masih belum pernah terisi. Jangan tanya bagimana etalase saudaranya yang lain, karena sudah pasti benda tersebut sudah terisi.

Kembali pada Abian yang masih tertunduk tak percaya, ia hanya meragukan dirinya sendiri yang mampu hidup hingga saat ini. Ia mendongak memfokuskan pendengaran, ia harap tak mendengar apapun ia hanya ingin hening. Tapi mengapa itu sangat sulit, mengapa suara tawa dan keceriaan keluarganya selalu muncul di saat yang seperti ini? Ia hanya bingung pada takdirnya, tapi ia hanya penasaran mengapa Abian yang harus hidup di antara keluarga yang sempurna tanpa ada dirinya.

Seperti saat ini, jejak ukiran yang ia buat di pergelangan tangan kini sudah mengering, bahkan sedari dulu seperti itu. Mungkin Tuhan belum mengizinkan Abian untuk bertemu dengan -Nya. Tapi mengapa untuk hidup di keluarganya saja sebegitu menyakitkan. Ia mencoba berdiri  meski sempoyongan, di bukanya dengan kasar pintu yang menghubungkan kamarnya dengan balkon.

Brakk ...

Ia sama sekali tak peduli jika pintu kacanya pecah akibat terlalu kasar, yang Abian mau saat ini adalah melihat bulan. Namun takdir tak memihak dirinya kali ini, bulan tak menampakkan wujudnya di langit.

Abian tiba-tiba meluruh dalam dinginnya udara malam ini. “Tuhan, kenapa aku yang selalu salah?” tanya Abian dengan mendongakkan kepalanya ke atas.

“Kenapa sih yang orang lihat selalu hasil? Kenapa nggak lihat dulu perjuangannya untuk capai hasil itu, kenapa?” Abian terisak, semakin lama semakin ia menundukan diri. Ada rasa pusing yang menyerang kepalanya hingga membuat Abian harus rela beradu lara.

Brakkk ...

Abian tersentak, segera ia menoleh ke sumber suara. Betapa terkejutnya ia kala melihat siapa yang membuat gaduh kamarnya dengan merusak pintu kamar.

Untuk Senja ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang