31. Harus Ikhlas

2.8K 283 15
                                    

*Mohon maaf typo-nya belum saya kendalikan 🙏🥰
Happy reading 🥰




Derap langkah nyaring kini seirama dengan suara kicauan mengerutuki dirinya sendiri. Abian masih gemetar setelah mendengar kabar buruk dari sang kakak sulung. Netranya kini tak lepas dari ruangan dingin tempat seseorang tengah berjuang hidup dan mati.

Namun ia tak sendiri, lihat disana sudah lengkap semua  saudara dan dua sahabatnya. Jika kalian berfikir Abian yang paling terluka, itu salah, justru disini terlihat dengan jelas bagaimana tatapan penyesalan dari sorot mata Raiden. Ia hanya duduk namun pikirannya melayang entah kemana.

Ian masih setia merangkul Raiden, tangannya bergerak mengusap lembut punggung sahabat abangnya itu. Namun ia juga lupa jika Abang kandungnya sendiri tengah terpukul.

Tak berapa lama pintu ICU terbuka, seluruh pandangan tertuju pada sepasang dokter senior dan muda yang baru saja keluar. Ia menetralkan nafas,"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin." Ucap dokter senior.

Abian yang berdiri agak jauh seketika mendekat, "Maksud dokter apa? Ira baik-baik saja kan?"

"Ira bakal sehat Dek," lembut tutur Aarav sambil mengusap kepala sang adik.

"Mas..." Ia tak tega mendengar rintihan sang adik, namun ia hanya bisa membantu mengurangi beban dengan mengusap lembut punggung adiknya.

Dokter senior kembali mengambil alih pembicaraan, ia menatap semua yang ada di sana. "Sebenarnya hal ini sudah kami prediksi setelah saat pasien mengalami kecelakaan beberapa tahun silam, namun Tuhan masih sayang kepada-nya. Saya sudah menjadi dokter penanggung jawab pasien lebih dari 5 tahun. Dan untuk saat ini, Ira berada pada titik terendahnya."

Terdengar dokter tersebut kembali menghela nafas, "Ira sudah lama berjuang, mungkin Ira sudah lelah dan ingin beristirahat.  Saat ini pasien mengalami mati otak."

Deg...
Sampai kata mati otak saja tangis mereka sudah tak terbendung lagi. Disana terlihat Aarav yang semakin mengeratkan pelukan. Apalagi Raiden yang menangis tersendu-sendu sampai tak mampu mengeluarkan suara.

"Kami harap keluarga pasien dapat segera memberi keputusan." Pinta dokter tersebut lalu beranjak.

Abian segera berlari masuk, tak peduli jika tubuhnya limbung saat berada di dalam. Sedang kakak kandung Ira sendiri sudah tak menangis, tangisnya telah terganti dengan netranya yang memandang kosong sambil sedikit menunduk.

Brak...
Ia menabrakan diri pada ranjang pesakitan Ira, tangannya lembut mengusap surai legam milik sosok yang ia kasihi. Bibirnya bergumam pelan pada telinga pujaan hati, "Aku sayang kamu Ra."

Bulir bening itu kembali tak bisa di bendung, bahkan sampai mengenai pipi putih pucat milik Ira. "Kamu tahu Ra, Pangeran yang kamu maksud sudah datang, kamu nggak mau nyambut dia? Kamu lupa janji kamu untuk menemani aku melihat senja saat mata kamu udah bisa lihat lagi?"

Abian terisak semakin keras, sungguh sesak kali ini sangat menyiksa. Kehilangan yang pasti akan terjadi namun tak mau segera terjadi. "Ra, bangun yuk. Kalau bukan untuk aku setidaknya buat Rai. Dia bakal nyesel seumur hidup kalau nggak sempat minta maaf ke kamu. Dia juga sakit Ra, bangun bentar aja. Aku mohon..."

Ia terus mengusap surai itu, sampai jemarinya kini turun ke pipi. "Kamu capek, hmm? Kalau capek istirahat ya, aku nggak bakal bangunin kamu." Abian kembali menghela nafas panjang,

"pasti sakit selama ini kamu hidup dalam bayang-bayang kematian ibu dan kakak kamu. Terima kasih sudah bertahan hingga saat ini." Ucapnya lalu mengecup kening orang yang dicintainya lama.

Abian masih terisak, namun ia juga tahu jika bukan dia saja yang terpukul. Setelah selesai dengan salam perpisahan, ia segera melangkahkan kaki keluar. Abian di paksa kuat oleh keadaan, ia tak boleh cengeng karena pada dasarnya dia bukanlah siapa-siapa bagi Ira.

Untuk Senja ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang