34. Hari Yang Buruk

2.7K 295 39
                                    

Banyak Typo, mohon diingatkan 🙏

[PART TIDAK DI REVISI, MAU YANG SUDAH DI REVISI? ADA DI VERSI BOOK-NYA]

Suara roda brankar menjadi hal mengerikan yang mereka dengar saat ini. Dengan tergesa dua kakak beradik itu segera membantu perawat mendorong brankar tempat adiknya tak sadarkan diri. Baru saja sampai di Rumah Sakit, sang adik sudah tak sadarkan diri, hal tersebut membuat mereka kalang kabut berteriak meminta pertolongan. Sejenak seperti melupakan jika Aarav juga salah satu dokter muda di Rumah Sakit tersebut.

Mereka hanya mengantar Ian sampai pintu UGD, meski Aarav yang notabenenya adalah dokter tapi ia tak bisa ikut masuk. Dalam lamunan, mereka menyertakan doa di setiap hembusan nafas.

Tak lama dokter keluar dari ruang yang dingin itu, "Dokter Aarav." Panggil salah seorang dokter yang tak lain adalah dokter spesialis paru-paru dan seniornya pula.

Aarav mengangkat pandangannya, "Gimana keadaan adik saya dok?" Tanyanya dengan tak sabar.

"Kondisinya sekarang sudah lebih baik, sepertinya Ian baru saja menghirup udara yang kurang bersih. Saya sarankan Ian harus selalu membawa inhaler kemanapun ia pergi. Kita tidak bisa memprediksi kapan asma-nya akan kambuh, tapi kita bisa mengobati dengan inhaler. Dan satu lagi, jalan membuat pasien terlalu banyak pikiran atau asma-nya akan sering kambuh." Jelas dokter tersebut.

Setelah mendapat ucapan terima kasih dari kedua Abangnya Ian, dokter tersebut pamit pergi.

"Mas udah kasih tahu ayah sama bunda belum?"

Aarav membuatkan netranya, ia lupa jika harus menghubungi ayah dan bunda. "Astagfirullah dek, gue lupa. Entar gue telfon dulu, Lo masuk aja sekalian mau ke kamar ambil jas bentar lagi shift gue."

"Okay, siyap. Jangan capek-capek Mas. Kasian badan Lo sendiri." Pinta Abian yang segera meninggalkan Aarav yang masih mencerna bingung ucapan Abian. Bukan karena Aarav bodoh memahami ucapan sang adik, tapi ia heran jika adiknya berucap kepedulian padanya. Aneh kan? Ya begitulah Abian, diam-diam peduli.

.

.

.

Abian terduduk manis tepat di samping ranjang sang adik. Jari-jarinya tak henti mengusap pelan surai lepek itu. Rona wajah kian pudar, ditambah lagi masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya membuat Abian tak tega. Adiknya itu beharga, ia tak ingin dia kesakitan. Jika bisa, lebih baik Abian saja yang merasakan ini semua jangan Ian yang sedari kecil merasakan perbedaan.

3 jam berlalu, namun ia masih setia dalam diamnya. Bahkan Aarav sudah jengah meminta sang adik untuk beristirahat. Bukan karena tidak lelah, tapi perasaannya tidak tenang jika Ian belum sadar.

"Mas, Ayah sama Bunda belum dateng?" Tanya Abian lesu.

"Besok, Mas bilang kalau malam ini biar kita aja yang jaga. Besok baru ayah sama bunda. Lagian kasian Arlo kalau nginep di RS malam ini, dia besok mau ke Singapura buat ikut pertukaran pelajar." Tutur Aarav yang membuat Abian membeku tak percaya.

"Bang Arlo jadi ikut? Kenapa nggak bilang, dulu katanya mau mengundurkan diri aja. Gimana sih!" Ia jengkel, merasa di bohongi kakaknya sendiri.

"Ehh... Nggak usah marah juga kali. Dengerin dulu penjelasan Mas sama Abang Lo." Titahnya. "Dia bukannya mau nutupin dari Lo, tapi Lo nya aja yang jarang bisa di ajak diskusi. Dia juga mikir kali kenapa sekarang mau nerima tawaran itu."

Untuk Senja ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang