28. Penantian

2.1K 262 16
                                    

*Typo bertebaran, harap maklum saya juga manusia ✌️☺️

.
.
.

"maaf..." Raiden berucap samar dalam lelapnya. Disisi lain Bagas langsung terlonjak dan mendekat mendekat.

Tangannya meraba kening sosok dihadapannya "kok panas lagi sih Rai? Lo banyak pikiran pasti." Cercanya tak henti sambil terus memandang raut wajah yang menahan kesakitan.

Bagas memandanginlayar ponsel yang menunjukkan pukul 03.00 pagi. Bagaimana mungkin ia membuat gaduh di rumah orang sepagi ini.

"Rai, bentar ya gue panggil mas Aarav dulu." Pamitnya meski tahu yang di pamiti masih terlelap di alam bawah sadar.

Ia berjalan menyusuri lantai 2 rumah Abian menuju kamar Aarav. Ia memang sering menginap disini makanya tak terlalu sungkan, sudah di anggap keluarga sendiri.

To...tok...tok...

Tak lama pintu bernuansa coklat itu terbuka, menampilkan sosok Aarav dengan wajah khas orang bangun tidur. "Apa Dek? Masih malem juga, nggak bisa tidur? Sini tidur di kamar gue aja."

"Enggak mas, si Rai makin panas." Netra Aarav langsung terbuka lebar, rasa kantuk yang sedari tadi singgah telah pergi entah kemana.

"Bentar, gue bawa peralatan dulu."

Sesampainya di kamar, Aarav mulai melakukan hal yang semestinya ia lakukan. Entahlah Bagas sendiri tak tahu urusan seperti ini, ia hanya mengamati dan membisu

"Rai, denger mas?"

"Enghh..." Hanya itu balasannya.

"Istirahat dulu ya dek," lembut ia berkata hingga membuat Raiden nyaman. "Kalau butuh apa-apa bilang ya." Lanjutnya.

"Gas, temenin dulu ya. Gue mau telfon temen gue biar di kirimin infuse, kurang cairan ni anak" pintanya yang di balas anggunkan.

Aarav kini berjalan menuju lantai dasar, setelah meminta bantuan sahabatnya. Ia menunggu di ruang tamu agar bisa langsung dengar jika ada yang datang.

"Kok gue jadi kepikiran omongan Raiden waktu itu ya? Apa dia... Ah, nggak mungkin. Nggak beres nih otak gue." Lirih Aarav bermonolog ria. Pikirannya sedang kacau, entah mengapa banyak orang terdekat yang ia sayang sakit bergantian. Capek juga jadi dokter tuh.

"Mas, ngapain disini?" Ia terlonjak kaget, suara barinton khas bangun tidur Arlo membangunkannya dari lamunan.

Ia mengelus dada, menyertakan nafas yang baru saja memburu. "Ehh, kok malah kaget sih?"

"Ya elo sih! Ngapain pegang pundak gue Ar? Ya refleklah gue kaget."

"Mas sendiri ngapain bengong disini? Mana mau subuh juga. Mau sholat apa gimana nih? Lagian mana ada tamu jam segini?" Aarav menghelat nafas berat. Sebentar, ia ingin emosi rasanya, bukan tapi sudah emosi.

"Hmm. Ada tamu, makanya ditungguin. Dah sana mau ambil wudhu kan? Entar gue nyusul. Jangan lupa bangunin adek-adek."

"Iya Mas ku sayang" ada sedikit penekanan di akhir kalimat.

.
.
.
Setelah shalat subuh berjamaah para cogan segera kembali ke kamar-kamar masing-masing, tapi ada juga yang menetap disini untuk membaca Al-Qur'an seperti Ilen contohnya.

"Gas, Rai nggak di ajak jamaah?" Lembut Abian bertanya ketika menyadari jika sahabatnya berkurang satu.

"Itu, si Rai tadi panas badannya. Sama mas Aarav di infuse lagi jadi masih tidur deh sekarang."

Ia terkejut, bisa-bisanya ia tak tahu hal itu. Padahal masih satu atap. "Hah? Kok Lo nggak ngasih tahu gue?"

"Kan udah ada Mas Aarav juga. Lagian malem-malem masa gue buat gaduh di rumah Lo." Sang lawan bicara hanya berdehem. "Yang penting udah ditangani. Nggak usah ribut."

Untuk Senja ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang