*Typo bertebaran 🥺
Happy reading ❤️Sunyinya malam menjadi alunan indah nan damai untuk saat ini, dimana semua tengah termenung dalam pikiran masing-masing. Bahkan bintang dan bulan yang datang pun tak dihiraukan.
Untuk kesekian kalinya Raiden Andrian yang dulu dianggap sebagai anak tunggal yang ceria kini telah menampakkan kehidupan yang sebenarnya. Bahkan tak ada yang mengira jika tumpuan mereka memiliki banyak luka.
Malam yang hangat kini menjadi teman Abian, Bagas, dan Ian di ruang rawat Raiden. Sedang Arlo dan si bungsu Ilen tengah beristirahat di rumah. Jika kalian ingin tahu dimana Aarav, makan dia dengan Rival sedang berdiskusi tentang kondisi dua kakak beradik itu.
Abian sedari tadi merebahkan diri di sofa, netranya meraba memandang sekeliling sampai akhirnya pandangannya tertuju pada sang adik yang sedari tadi menatap kosong langit-langit ruang rawat.
"Belum ngantuk dek?" Suara sang kakak yang lembut membuatnya sedikit tersentak, kemudian menoleh menunjukkan netra satu yang sedari tadi ia usahakan untuk terpejam.
"Nggak bisa tidur." Jawabnya lemah.
"Lo pulang aja gimana? Daripada malah sakit, kasian Mas Aarav entar bingung harus milih Lo apa Rai." Tutur sang kakak Dangan sedikit kekehan disana.
"Enggak, gue disini aja. Males di rumah nggak ada Bunda."
"Lo di hukum apa sama Bang Ar?" Rupanya pertanyaan itu membuat Ian sedikit menegang, ia kira abangnya itu sudah lupa.
"Bukan fisik-" Belum sempat selesai, Abian menyela. "Tapi?"
Ian berdehem, "gue harus mundur dari kerjaan, padahal baru masuk 3 hari."
"Bngst!! Ngapain Lo kerja?!" Sang kakak memekik tak percaya. "Lo tahu kan kalau hal itu salah, ngapain masih di lanjutin! Pantes Bang Arlo marah, seharusnya bisa lebih marah dari itu! Gila Lo dek!"
"Biasa aja kali Bang, gue cuma kerja bukan mati. Gue emang sakit tapi bukan sekarat, gue cuma mau mandiri aja dan nggak jadi beban keluarga!" Ian sedikit hilang kesabaran, nadanya cukup tinggi bahkan mungkin kali pertama baginya.
"Bego Lo dek!!" Setelah mengucapkan hal itu Abian beranjak pergi tak memedulikan tatapan tajam yang Bagas torehkan.
"Dasar pundungan!" Ian yang jengah segera mendekat ke arah Bagas yang duduk tepat di samping brankar.
"Bang gantian, gue mau duduk disini."
Bagas mengernyitkan alis, "ngapain?"
"Pengen ngobrol sama Bang Rai, Abang kalau mau nguping juga nggakpapa tapi disana aja." Ujarnya sambil menunjuk ke arah sofa.
"Hmm."
Kini Ian duduk di samping teman abangnya dan mungkin sudah seperti abangnya sendiri. Tangannya mengusap lembut punggung tangan seseorang yang masih menutup mata itu. Tak lama ia kembali berucap,"Terima kasih ya Bang."
"Abang tahu nggak karena Abang nolongin aku waktu itu, mereka jadi nggak ganggu aku lagi." Ia semakin menunduk, entah mengapa air matanya ingin jatuh.
"Abang, Bang Bian udah mulai curiga sama tulisan aku yang aku tulis di novel. Nanti Abang bantu aku jelasin ke Bang Bian ya. Hehehe, tumben aku bicara lembut ke Abang, aku kangen kata-kata Abang kalau aku bicara kek gini."
Bagas yang mendengar semua penuturan itu sedikit terkejut, ia tidak menyangkan jika Rai adalah tempat berbagi untuk Ian. Ia kira karena memiliki banyak kakak dapat membuat Ian dengan mudah membagi perasaan.
"Bang, gue mau pelukan Lo lagi." Isak tangisnya sudah tak dapat dibendung, ia mencurahkan semua yang dirasa tanpa menghiraukan seseorang tengah menyimak pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Senja ✓
Fanfiction[DIBUKUKAN] "Senja itu indah tapi ia mengisyaratkan perpisahan, perpisahan yang indah dan layak untuk bahagia" Seperti kebanyakan keluarga lainnya Keluarga Desmon adakah keluarga yang harmonis. Tapi tanpa sadar mereka telah melukai salah satu pange...