24. Kembali Pada Garis Edarnya

2.6K 306 22
                                    

"Bang, gimana keadaan adek kamu?" Ucap Laura yang baru saja sampai di kamar Ian.

"Udah lebih baik Bun, Bunda kenapa jam segini udah bangun?" Balas Abian.

Sejak semalam Abian dan Ilen memilih tidur di kamar Ian. Mereka ingin menjaga saudaranya itu. Itung-itung juga untuk melepas rindu.

Pagi ini pukul 4 pagi bunda sudah datang ke kamar putra ke empatnya. Niat awal ingin membangunkan untuk sholat subuh, namun saat mendengar ucapan Arlo jika anaknya itu sedang sakit, seketika dada Laura berdenyut nyeri. Ibu mana yang tidak khawatir jika putranya tengah melawan rasa sakit.

Sekali lagi Laura merasa bersyukur memiliki anak-anak yang saling menjaga satu sama lain. Melihat kedua buah hatinya menjaga Ian, hati Laura menghangat begitu saja.

"Udah sholat Bang? Bangunin adek kamu ya. Bunda mau masak dulu." Ucapnya pada Abian, tatapan sendu itu tak pernah lepas menatap netra yang tertutup damai.

"Ian suruh sholat dulu, habis sholat biar di lanjut lagi tidurnya." Sambung sang bunda, kemudian beranjak keluar perlahan

Yang diberi perintah segera melaksanakan tugas, tanpa sadar ternyata sejak bunda datang Ian sudah bangun. Abian juga terkejut saat tiba-tiba tangannya di cekal, dan terdengar lirih kata maaf.

"Udah enakan Dek?"

"Udah Bang, terima kasih udah nemenin aku." Sayu netranya memandang sang kakak. Rasa bersalah ada pada dirinya, bisa-bisa ia tak bisa mengontrol diri jika memang tak salah.

"Iya, kita sholat subuh dulu yuk. Mas Aarav sama Bang Arlo udah duluan. Kita jamaah bertiga aja ya." Anggukan pelan di terima Abian.

Dalam doa panjang yang terucap, Abian selalu berharap jika hidup tak hanya membuat luka. Sudah lelah sepertinya membuat orang tua dan saudaranya khawatir. Cukup kali ini saja tubuhnya manja, kini saatnya Abian melindungi kedua adik tersayangnya.

"Abang..." Panggil si bungsu yang berada di belakang.

Abian sebagai kakak memang sering bertugas sebagai imam. Dulu sih karena sering di hukum ayah karena susah bangun untuk sholat subuh berjamaah. Dan dari situlah ayah berinisiatif membuat peraturan jika yang paling terakhir datang maka ia akan menjadi imam. Dan benar saja, Abian hampir setiap jamaah subuh selalu menjadi imam.

"Hmm?"

"Tentang perkataan Abang semalem-" belum selesai Ilen berucap, kakaknya langsung menyela begitu saja.

"Enggak usah di pikirin. Abang cuma bercanda semalem." Kemudian beranjak meninggalkan keheningan pada kedua adiknya.

🌚🌚🌚🌚🌚

Fajar telah kembali menampakkan diri, kini sambutan tak lagi dingin. Karena tahu kebahagiaan sebuah keluarga akan segera tercapai. Dalam kehangatan pagi, mereka tengah menyiapkan diri untuk memulai kembali aktivitas seperti biasa.

Ritual pagi yang sudah lama dirindukan kini hadir kembali, meski jika di telisik lebih jauh masih tersimpan kekosongan. Semua telah berganti menyisakan Aarav yang harus menuntun adik-adiknya. Padahal ia sendiri belum yakin dengan pilihannya. Sebab itulah banyak yang berkata, anak pertama harus menguatkan bahunya, kerena ia tak akan pernah tahu kapan peran anak pertama akan dibutuhkan.

"Bun, Abang, Mas, Bian berangkat dulu ya." Pamit Abian di ruang tengah yang kini terdapat kedua kakaknya dan sang ibunda.

"Adeknya nggak bareng Abang?" Balas sang bunda di iringi langkah kaki yang mendekat.

"Adek bareng Mas, Bun. Bentar lagi berangkat sekalian Mas mau ke rumah temen." Bukan Abian, tapi kakak pertamanya yang menjawab.

Untuk Senja ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang