19. Rasa Yang Berbeda

2.7K 366 9
                                    


Typo mohon dimaafkan 🥺
.
.
.

"Hidup itu perlu dijalani bukan diratapi"

~Kinm

🌚🌚🌚🌚

"Abang masuk gih" tutur Aarav kala nama sang adik dipanggil oleh seorang perawat.

Jujur saja kali ini perasaan khawatir menyelimuti diri, baru kali ini adiknya harus mendapat pemeriksaan setelah beberapa tahun yang lalu.
Apalagi keadaan Ian dan sang Bunda yang belum terlalu sehat membuatnya tak ingin jauh dari keluarga.

Lalu dimana  sang Ayah sekarang? Entahlah. Sejak kejadian hari itu mereka sepakat untuk tidak membahas keberadaan Rama di depan Abian. Bahkan Abian pun tak pernah menanyakan keberadaan sang Ayah.

Hari yang mereka lalui semakin sulit, tidak untuk pribadi namun untuk semua. Memiliki masalah masing-masing yang mungkin diantara mereka tak tahu masalahnya satu sama lain.

"Mas, Adek nyusul bunda ya?" Lembut suara Ian menyapa pendengaran Aarav yang tanpa sengaja membubarkan lamunan.

Aarav hanya menganggukkan kepala mengiyakan permintaan adiknya, sungguh berat menjadi anak pertama dan sekarang ia akan menggantikan posisi sang ayah setelah nanti ayah dan bundanya resmi bercerai.

Ian yang mendapat persetujuan langsung bergegas pergi, dan kini Aarav sendiri menunggu pemeriksaan Abian.

Setelah pemeriksaan selesai dirinya masuk untuk menemui dokter tersebut, dokter Abian sekaligus salah satu rekan kerjanya.

"Dek, kamu nyusul bunda dulu ya. Biar Mas bicara sama dokter."

"Lho, emang Bian nggak boleh dengerin?"

"Boleh, tapi tadi bunda nyariin. Samperin dulu gih, kasian bunda"

"Hmmm, iya" kesel Abian, padahal ia juga ingin mendengar apa yang di katakan dokter. Namun ia menurut dan keluar dari ruangan tersebut.

"Ish... Mas Aarav gitu banget sembunyiin penyakit gue! Kalian tu gimana sih, nggak di kasih tahu juga gue bakal tahu. Gue nggak bodoh lah buat searching obat gue. Dasar Mas Aarav, dokter tapi nggak pinter. Huhh!" Gerutunya sepanjang koridor Rumah Sakit.

Netranya tak henti menatap sekitar, termasuk beberapa kamar yang sedikit terbuka. Berbagai macam orang sakit di sini, bahkan di taman juga penuh orang yang tengah menyeret tiang serta kantung cairan yang terhubung langsung ke tangan.

Rasanya sakit, bahkan hanya melihatnya saja Abian merasakan ngilu tertusuk jarum.

Tiba-tiba langkahnya terhenti di bangku kosong tepi taman, pemandangan yang nampak jelas terlihat adalah beberapa orang tengah berkerumun memberi semangat pada remaja tampan yang tengah duduk di kursi roda.

Rona wajah yang pudar serta badan kurus membuat Abian merasa iba, namun disisi lain dirinya merasa bahagia karena setidaknya ia tak sendiri dalam masa sulit.

"Seharusnya gue bersyukur" monolognya.

"Tanpa gue sadari masih banyak orang di luar sana yang nasibnya lebih buruk dari gue" kali ini netranya menatap seorang laki-laki yang sudah cukup berumur namun ia sendirian, tak ada keluarga atau kerabat yang menemani.

"Bunda, Mas Aarav, Bang Arlo, Ian, Ilen, Mbak Mina, bahkan Mbak Laras juga disamping gue kalau gue sakit. Semua khawatir, tapi kenapa gue nggk bersyukur sih?!!" Kedua netranya berembun meratapi nasibnya sendiri.

"Maafin Abian yang nggak tahu diri ini ya. Bilangnya disini aja, entar kalau ngomong langsung dikira kambuh gila gue. Ehh... bukan gila tapi kata Mas Aarav sakit mental, bisa di jitak ni kepala kalau dia denger. Padahal mah sama aja," kekeh Abian.

Untuk Senja ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang