*typo mohon diingatkan 😘
Pada pagi yang menjelang siang ini hawa panas mulai di bagikan sang Surya. Bukankah angin juga ikut menghantarkan rasa itu. Ia memenuhi ruang di bumi ini, bahkan dalam tubuh yang kamu hembuskan ada dirinya. Menjadi saksi bisu kejamnya dunia yang ia rasa.
Kali ini mobil keluarga milik cogan bunda Laura sudah terparkir cantik di depan Rumah Sakit tempat Aarav bekerja. Tapi kali ini ia tak sendiri, ada Bunda, Ian, Abian, dan sang sahabat yang masih setia menemani.
Dirinya juga sudah ada janji dengan masing-masing dokter yang di perlukan hanya tinggal menunggu sebentar. Mereka yang sedari tadi duduk di kursi tunggu satu persatu mulai pergi. Laura yang belum terlalu kuat itu di dampingi Laras, yang mungkin bisa Laura anggap sebagai calon menantu.
Sedangkan Aarav masih setia dengan kedua adiknya, Ian sibuk dengan ponsel yang menunjukkan berbagai game. Sedangkan Abian hanya terdiam, menunduk dalam. Dia sangat benci berada di sini jika alasannya karena sakit. Tak lama Abian sedikit mendekati Aarav dan memulai pembicaraan.
"Mas" ucapnya lirih.
"Kenapa dek? Ada yang sakit?" Yang di tanya hanya menggeleng.
"Terus kenapa?" Lanjutnya.
Sedikit Abian mengatur nafas yang mulai tak teratur,
"Mas..." Suaranya terdengar serak, seakan sebentar lagi tangisnya pecah.
"Abian nggak gila mas..."
Deg...
Dada Aarav seakan di pukul benda berat sesaat setelah endengar penuturan polos adiknya itu. Sedangkan Ian yang menyaksikan kejadian itu sudah tak bisa membendung eluh beningnya.
"Dek, kamu ngomong apaan sih? Siapa yang bilang kamu gila, hah? Kamu itu adeknya mas!! Mas itu dokter lho!!" Padahal jelas dari suaranya jika Aarav kesusahan menahan tangis.
"Hiks... Kalau Abian nggak gila nggak bakal di bawa ke sini mas!!! Ad-ek... Hiks... Adek nggak ... Hiks... Bakal di suntik biar ... Hiks... Bi-ar tidur... " Walau terdengar tak jelas namun sudah cukup menggambarkan perasaannya.
Segera Aarav merengkuh adik tengahnya, mengusap punggung yang bergetar, dan membisikkan kalimat penenang.
Justru hal ini yang Aarav takutkan, Abian jadi berfikir negatif. Padahal spikolog bukanlah hal yang merugikan. Ia hanya ingin adiknya sembuh dari traumanya, sungguh jika tangis Abian pecah tandanya dia kembali ke masa trauma itu.
Tampa sadar Ian ikut menghamburkan diri dalam pelukan itu, walau kini sesak mulai menerpa. Dirinya paham bagaimana kakaknya itu berjuang, ingin sekali ia egois dan mengatakan rasa sakitnya. Namun ia urungkan, Ian memang pendiam tapi Abian lebih pendiam lagi jika trauma nya kambuh.
Tak lama waktu berselang suara seorang perawat memanggil nama Ian, segera Aarav membawa Ian menemui dokter. Tunggu ada yang salah, dia melupakan adiknya yang menunduk dengan mata sembab setelah menangis.
"Astaga gue lupa!!" Monolog Aarav ketika akan memasuki ruangan.
"Kenapa mas?" Tanya Ian.
"Mas ninggalin Abian sendiri dek, bentar ya. Kamu masuk dulu mas mau lihat Abang kamu bentar"
"Ian nggak usah di temenin mas, aku bisa sendiri. Kasian Abang" tolaknya dengan halus.
"Enggak boleh, kalau kamu sendiri pasti kamu mau bohongin mas" dan rencana buruk Ian kini sudah di ketahui Masnya.
Sebenarnya ia ingin melakukan hal itu karena tak ingin Aarav khawatir, tapi jika memang masnya bersikeras ya mau bagai mana lagi.
"Tunggu bentar ya dek" ucapnya lalu segera meninggalkan Ian sendirian di depan ruangan dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Senja ✓
Fanfic[DIBUKUKAN] "Senja itu indah tapi ia mengisyaratkan perpisahan, perpisahan yang indah dan layak untuk bahagia" Seperti kebanyakan keluarga lainnya Keluarga Desmon adakah keluarga yang harmonis. Tapi tanpa sadar mereka telah melukai salah satu pange...